Dua

126 6 0
                                    

Retta berbaring di ranjang sambil menatap langit-langit kamarnya. Jam dinding menunjukkan pukul 9 malam, tapi papanya belum pulang. Papa Retta memang seorang pemimpin perusahaan. Setiap hari pergi kerja pagi-pagi dan pulang larut malam. Retta berusaha memakluminya, meskipun rasa kesepian tetap tak dapat ia pungkiri.

Mata kecoklatan milik gadis itu mulai menari-nari ke sekeliling kamarnya. Sesekali menatap jam dinding, lalu menatap lemari dan berbagai perabotan di dalam ruangan. Kamar berukuran besar dan mewah ini terasa semakin sunyi di malam hari.

Di depan pintu kamar Retta, Mbok Sum terlihat mondar-mandir dengan raut wajah resah. Berkali-kali ia ingin mengetuk pintu kamar tetapi tidak jadi. Hingga akhirnya Mbok Sum memberanikan diri untuk mengetuk pintu sebanyak dua kali.

"Kenapa, Mbok? Aku nggak mau makan, masih mau nunggu papa pulang. Nanti aku makan bareng papa aja," teriak Retta dari dalam kamar seolah-olah bisa membaca pikiran Mbok Sum.

"Tapi kalo Retta nggak makan, nanti saya dimarahi sama tuan," jawab Mbok Sum.

"Nggak, Mbok. Nanti aku yang jelasin ke papa."

Retta menghela napasnya. Ini yang ketiga kalinya Mbok Sum mengingatkan untuk makan malam. Sebenarnya wanita tua itu bermaksud baik. Hanya saja, Retta ingin makan bersama papanya.

Seandainya ia punya mama, pasti rasa kesepiannya tidak akan separah ini. Di rumah dengan tiga lantai, Retta hanya tinggal bersama Mbok Sum dan Pak Dadang –supir pribadinya–. Selama ini Retta selalu bertanya-tanya, bagaimana rasanya memiliki seorang ibu?

Sebuah lagu dari Taylor Swift tiba-tiba membuyarkan lamunan panjangnya. Dengan malas, Retta segera bangkit dari tempat tidur dan mencari-cari handphone­-nya. Ia mengernyit bingung melihat siapa yang meneleponnya malam-malam begini.

"Kenapa, Mei?" tanya Retta datar setelah menekan tombol hijau pada layar handphonenya.

"Jutek amat, sih. Kalo angkat telepon tuh harusnya bilang 'halo' dulu, dong," jawab Meika.

"Kamu ngapain telepon malem-malem gini? Kangen?" tanya Retta sambil tertawa pelan.

"Tadi jutek, sekarang malah ketawa. Aneh lo!" seru Meika, ia hanya bercanda.

"Lagian, tumben telepon jam segini. Nggak biasanya."

"Cuma mau ngingetin, besok ada penilaian seni musik. Lo udah latihan?" tanya Meika, kali ini dengan nada serius.

"Aku nggak siap tampil di depan orang-orang." Retta menghela napas panjang.

"Cuma di depan kelas, kok. Lo pasti bisa, Re! Gue yakin! Lo harus bisa membuktikan kalo lo itu kuat. Nggak usah pikirin kata-kata orang lain. Nih, coba lo lihat gue. Gue nggak bisa main musik, tapi gue pede banget kalo maju di depan kelas." Meika tertawa di akhir kalimatnya.

Retta terdiam sekilas. Telinganya seperti menangkap suara mobil di halaman rumah. Kakinya buru-buru melangkah mendekat ke jendela kamar. Ia tersenyum ketika melihat mobil papa bergerak memasuki halaman rumah.

"Mei, papaku baru pulang. Aku tutup ya teleponnya. Aku bakal berusaha buat penilaian seni musik besok. Makasih ya udah ngingetin," ujar Retta sembari tersenyum.

"Okay, bye," sahut Meika sebelum Retta mematikan telepon.

Setelah meletakkan handphone-nya di atas meja, Retta berlari keluar kamar dan menuruni anak tangga. Kamarnya terletak di lantai 3. Melihat Retta yang bergerak begitu cepat, Mbok Sum hanya bisa tersenyum sambil geleng-geleng kepala lalu bergegas ke dapur untuk melanjutkan kegiatan memasaknya.

Retta membukakan pintu rumah, dan terlihat Aldi –papa Retta– melangkah perlahan memasuki rumah dengan penuh wibawa. Raut wajah pria itu terlihat lelah, tetapi ia berusaha untuk menyembunyikannya.

"Retta nungguin papa dari tadi," ujar Retta pelan sambil menutup pintu rumahnya.

"Kenapa?"

"Retta mau makan malam sama Papa." Retta tersenyum.

"Kamu belum makan?" tanya Aldi dengan keras. Retta tersentak kaget menerima teriakan papanya itu, ia terdiam tak berani menjawab.

"Udah berapa kali papa bilang, nggak usah nungguin papa pulang! Kondisi tubuh kamu itu nggak baik, nggak boleh telat makan. Kenapa kamu nggak pernah ngerti, Retta?" bentak Aldi pada putri satu-satunya itu.

"Maaf, Pa. Retta cuma mau makan malam sama Papa," gumam Retta merasa bersalah. Tak seharusnya ia membebani papanya seperti ini.

"Ini yang terakhir kalinya. Untuk besok dan seterusnya, jangan pernah nunggu papa pulang. Kamu mengerti, Retta?" Aldi menegaskan.

Retta mengangguk. "Iya, Pa. Retta ngerti."

***

Mbok Sum mulai menghidangkan makanan-makanan di atas meja makan. Sekilas matanya melirik ke arah Retta yang terdiam lesu. Terkadang Mbok Sum merasa sedih melihat keadaan Retta yang setiap hari lebih sering menyendiri di dalam kamar. Tapi apalah daya, dirinya hanyalah seorang asisten rumah tangga yang tak berhak ikut campur dalam urusan keluarga.

Retta menegakkan posisi duduknya ketika melihat Aldi memasuki ruang makan. Mereka berdua mulai menyantap makanan dalam diam. Keheningan sangat terasa. Tak ada sepatah kata pun yang dilontarkan keduanya. Yang terdengar hanyalah dentingan sendok dan garpu yang sesekali menyentuh piring. Sebenarnya Retta ingin berbicara banyak hal dengan Aldi, tapi ia mengerti bahwa papanya terlalu lelah untuk melakukan itu.

"Papa marah sama Retta, ya?" tanya Retta pelan. Aldi hanya terdiam, tak ingin menjawab pertanyaan putrinya itu.

"Retta minta maaf. Retta nggak bermaksud bikin Papa marah. Retta cuma ingin tahu bagaimana rasanya punya keluarga. Selama ini, Papa selalu sibuk kerja. Retta selalu makan sendirian. Seandainya Mama..." Belum sempat Retta menyelesaikan kalimatnya, Aldi membanting sendok dan garpunya ke piring. Suara dentingan memenuhi ruang makan.

"Udah berapa kali papa bilang ke kamu, jangan pernah bicara tentang mama!" bentak Aldi. Pria itu memijit kepalanya yang tiba-tiba terasa pusing. Detik berikutnya, Aldi bangkit dari duduknya dan meninggalkan Retta sendirian di ruang makan.

Mati-matian Retta berusaha menahan air matanya yang hampir menetes. Kepalanya tertunduk dalam. Gadis itu menyadari kesalahannya, membawa-bawa mama untuk kesekian kalinya.

***

Angin malam berhembus kencang, menerpa wajah Retta yang berdiri di hadapan jendela kamarnya. Gadis itu telah membuka jendela kamarnya sejak 30 menit yang lalu. Rasa kantuk belum juga menyerang dirinya.

Tangannya bergerak menarik kursi ke dekat jendela, lalu mengambil buku berwarna biru laut dan pena dari atas meja. Ia duduk dalam diam. Perlahan membuka halaman kosong dalam buku harian di pangkuannya. Menatapnya dalam-dalam, memikirkan apa yang harus ditulisnya malam ini.

Bulan...

Apakah aku bisa lebih kuat?

Menghadapi ribuan rintangan yang seolah tak ada habisnya

Dan lautan air mata yang semakin dalam

Jika hidupku adalah tentang waktu

Dan waktu adalah tentang diriku

Lalu bagaimana dengan bahagia?

Ataukah tersisa derita?

***

Untuk BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang