Ascendancy - 1

57 8 0
                                    

"No tears for a jerk - No slaps for a bitch. Karma will doing better."





SARASVATI mendengus lantas menyesap kembali latte yang sudah memunculkan embun di sisi luar cupnya. Itu terjadi karena pembicaraan alotnya dengan the jerk Nanta menguras habis tenaga dan konsentrasinya. Membuat Sara lupa bahwa ada satu cup latte berukuran besar yang masih belum tersentuh di hadapannya. Pikirnya berkelana pada sosok laki-laki yang barusaja meninggalkannya. Garis bawahi dan baca sekali lagi, meninggalkannya. Mantan putri sekolah tingkat kabupaten sekaligus duta bahasa tingkat sma/smk se-provinsi sepertinya ditinggalkan oleh satu sosok laki-laki kurang ajar yang sialannya sudah mencuri hati Sara sejak pertemuan pertama. Tolong, biarkan kesombongan yang Sara katakan sedikit menghapus rasa kesal dan sakit hati yang bersarang di dadanya. Biarkan Sara berusaha menjadi lebih baik dengan member pujian untuk dirinya sendiri. Bahwa dia masih pantas untuk tidak ditinggalkan dan disakiti oleh laki-laki macam Nanta. Well, menyebut namanya berulang kali meski hanya dalam kepala cukup membuat Sara merasa semakin sesak.

"No! Don't you dare to cry out, baby girl. You deserve better than a jerk like him!"

Ucapan yang terlontar dibarengi pelukan dari sisi kanan tubuhnya membuat Sara tersenyum miris. Maira membuatnya merasa sedikit lebih baik. Begitu pula sosok laki-laki yang kini menarik kursi kosong tepat dihadapan Sara dengan senyum tipis di hadapannya.

"If cry makes you feel better, just let it out then." Ucap Ganendra dengan kedikan bahu tanda tak acuh.

Maira menggeleng tegas. "Strong lady won't cry for a jerk."

"Tapi kamu nangis buat mantan pacar brengsek kamu itu, My Ira. You cried a lot."

Perdebatan kecil itu membuat Sara mengulum senyum lantas mengusap sudut matanya, dimana air mata menggenang. Benar kata Maira bahwa dia tidak boleh menjatuhkan air matanya untuk laki-laki brengsek macam Nanta. Pun, benar kata Ganendra bahwa menangis akan membuatnya merasa lebih baik. Sekali lagi juga, Maira benar dengan mengatakan bahwa perempuan kuat tidak akan menumpahkan air mata untuk laki-laki sialan yang menyakiti hati. Tapi, sisi melankolisnya tidak bisa terbentung. Sesak di dadanya terlanjur meluap mendorong gerbang tanggul air matanya hingga akhirnya butir-butir itu lolos meski sebuah senyum tipis masih tersungging di wajahnya.

Maira menghela napas lantas menarik kursi untuk duduk disamping Sara dan kembali merangkul perempuan itu. Bersyukur, C-Café tampak agak sepi siang ini sehingga Sara dan lelehan air matanya tidak terlalu menjadi tontonan.

"She's right that you deserve better, Sar. Tapi merelakan mungkin akan butuh waktu. Take your time and get ready to stand up again." Kata Ganendra dengan senyum tipis di wajahnya.

Beruntungnya Maira, mendapatkan laki-laki semanis Ganendra. Meski laki-laki itu nyatanya setahun lebih muda daripada Maira tapi yang tampak justru sebaliknya. Ganendra selalu bersikap lebih dewasa dalam mengatasi masalah ketimbang Maira. Tapi ditengah seringnya perdebatan konyol antara mereka, keduanya adalah pasangan yang sangat pantas berjalan bersama.

"Pulang kuy? Kita marathon drama sambil ngemil magnum sama chips. Atau kue kering. Gue yakin Mami lo punya banyak stok cemilan buat bekal kita begadang." Kata Maira sembari mengusap bahu Sara.

Sara melepaskan diri untuk mengusap lelehan air mata di wajahnya. Dia tidak mau berlama-lama di ruangan publik seperti ini dan menambah kemungkinan dirinya menjadi tontonan massa. Pantang hukumnya bagi Sara, apalagi kalau sampai ada antek-antek Nanta yang melihatnya. Meski kenyataan pahit tapi Sara harus tetap tampil baik dihadapan laki-laki itu. Cukup hatinya yang terinjak, Sara tidak mau mentalnya mendapat perlakuan yang sama.

ASCENDANCYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang