"Maafkan aku, Dira. aku memilih Nathan." aku tak sanggup lagi untuk menatap mata Dira. Berulang kali aku menelan ludah untuk menahan air mata yang siap mengalir. Dira masih terpekur dihadapanku, ku lihat parasnya bertanya- tanya. Aku tahu itu adalah ekspresi kecewa. "Aku tak bermaksud menyakitimu, aku hanya, aku tak tahu jika hari ini akan terjadi lebih cepat."
"Diam" Aku menemukan pergerakan dari Dira. Wajahnya kini menghadap padaku, tatapannya menuduh. "Tak usah bicara lagi. Jika kau memang memilihnya daripada aku, baiklah, aku menerimanya." Dira menggamit lenganku dan membuat jarak tubuh kami semakin dekat. Aku tak bereaksi apapun, ku biarkan saja tubuh ini tersakiti hingga koyak sekalipun asal itu dapat membuat Dira tak membenciku.
Hembusan nafas kami berpacu dalam hawa dingin yang dibawa hujan. Menyatu dalam aroma tanah basah dan aspal yang tergenangi air. Dira kembali berbicara pelan." Aku memaafkanmu tapi aku tak akan bisa melupakan semua rasa sakit yang telah kau berikan ini kepadaku!"
***
Satu tahun sudah aku menghempaskan kisah cinta bersama Dira di dalam kenangan. Kini, aku berdiri bersama Nathan, kekasih baik hati yang telah ku khianati namun tetap menantiku untuk kembali. Nathan dan aku telah menjalin kebersamaan selama setahun lebih, pada umur hubungan kami yang memasuki dua bulan itulah aku mengenal Dira. Sosok pria berwajah persegi dengan lengkungan alis yang tidak terlalu tebal, kedua matanya yang berujung tumpul terkesan meneduhkan, sepasang bibir dengan ketebalan yang sama -begitu indah ketika ia menarik kedua ujungnya untuk tersenyum- bernaung dibawah kumis tipis yang dirapikan.
Sejuta pesona Dira berhasil membuatku buta, apalagi ia datang disaat aku dan Nathan masih terlibat konflik kecil dengan mantan kekasih Nathan. Dira mengizinkanku untuk bersandar dibahunya saat aku lelah menghadapi keegoisan Nathan. Dira menghapus air mataku saat aku menangis karena Nathan -tidak, sebenarnya aku menangis karena mantan kekasih Nathan- , dan Dira selalu ada ketika aku membutuhkan sosok Nathan.
Ketika itu cuaca kota Solo bak sedang dimurka sang bola raksasa. Panasnya menguras energi habis- habisan. Tetesan peluh mengaliri pelipis tukang- tukang becak yang masih bekerja dalam ranahnya. Aku dan Dira sedang menikmati santapan siang saat itu. Semangkuk bakso urat dan segelas es teh kami pikir cukup untuk sekedar mengganjal cacing- cacing perut yang getol berdemo.
"Aku menyukaimu, Alika." Sahutan Dira mengejutkanku tiba- tiba.
"Apa?" Tanyaku penasaran. Aku tertawa kecil menanggapi pernyataan Dira yang baru ku dengar sepersekian detik yang lalu. "Kau bercanda!"
Dira meletakkan sendok dan garpunya di atas meja. Tatapannya berubah serius dan menghunus ke arahku. Perlahan, aku balik menatapnya seraya mengunyah dan menelan bulatan bakso hingga tak bersisa. " Aku serius, Alika. Lihatlah wajahku! kau pikir aku sedang bergurau?"
"Hmm.." Aku menuruti keinginannya. Ku abaikan sejenak setengah porsi bakso yang belum ku habiskan. Ku lipat kedua tanganku di atas meja sementara tatapanku memandang langsung ke wajah Dira. "Kau bergurau."
"Tidak" Kilahnya.
"Ya. Aku telah memiliki Nathan, Dira. Kau tahu itu." Perhatianku kembali beralih pada bola- bola tepung yang bersembunyi dibalik bihun. Ku anggap semua pengakuan Dira hanyalah gurauan semata, walau ku tahu itu bukan.
"Lalu? Bagiku tak masalah untuk kita bersama meski kau masih bersama Nathan. Aku ingin selalu di dekatmu, Alika. Walau aku harus berbagi ruang dihatimu dengan pria lain. Aku rela."
Ku hentikan niatanku untuk kembali menyantap bakso yang sempat terabaikan. Ku dengar kembali suara Dira sebelum aku sempat menyahut ucapannya. "Alika, bukankah kau juga menyukaiku? Jangan mengelak pada kenyataan itu, Alika."
YOU ARE READING
Melewatkanmu
RomanceCinta memang tak pernah salah tapi untukku mencintaimu adalah sebuah kesalahan.