Entah mengapa, malam ini terasa aneh. Aku masih belum bisa tidur, meski jarum jam dinding sudah menunjuk pada angka sebelas malam. Berkali-kali pula aku membalik posisi tidurku. Miring ke kanan, ke kiri, terlentang, bahkan tengkurap. Tetapi, tetap saja mataku ini tak kunjung memejam.
Kali ini aku menatap langit-langit atap. Dulu, saat para teman dekatku akan melaksanakan prosesi akad nikah, aku pun ikut merasa gugup luar biasa. Padahal bukan aku yang menjadi mempelai wanitanya.
Hah, aku berkali-kali menghela napas khawatir. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa aku tengah berbahagia. Karena apa? Karena besok, jika tak ada halangan statusku akan berubah menjadi seorang istri. Merasakan bagaimana rasanya berada pada posisi yang sama dengan para teman perempuanku, yang telah lebih dulu mengalami hal serupa.
Kulirik jam dinding untuk kesekian kalinya pada malam ini. Masih pukul 23.35. Hmmm, mendadak aku rindu kepada Niko, calon imamku itu. Rindu senyumnya yang amat menawan, tubuhnya yang atletis, serta kebaikan hatinya tentu saja. Sudah seminggu ini aku tak bertemu dengannya, karena kami tengah menjalani tradisi pingitan.
Sedang apa ya, dia? Apa dia juga susah tidur, sama sepertiku?
Tok, tok, tok!
Sontak kulitku merinding, saat kudengar suara ketukan pada kaca jendela kamarku. Kulirik jam dinding sekali lagi. Tepat pukul 12 malam. Tak mungkin ada orang yang bertamu tengah malam begini, kecuali orang gila. Bilapun orang waras, pastinya akan mengetuk pintu depan, bukan jendela kamarku. Dan kemungkinan lain, itu perampok. Atau, bukan manusia?
Buru-buru aku menarik selimut, menutupi kepalaku dengan benda yang kusentuh ini. Namun, ketukan itu justru semakin menjadi. Bahkan, kini gorden yang menutupi kaca sampai bergerak-gerak.
Aku harus apa?
"La, ini aku, Niko." Di tengah ketakutanku, nama yang baru saja disebutkan membuatku memberanikan diri untuk mengintip jendela.
Dari suaranya pun, aku mengenal. Itu Niko, sosok yang tengah kurindukan. Sosok yang sejak dua tahun lalu sudah mengisi relung hatiku. Penuh, hingga tiada celah untuk nama pria lain.
"Kamu ngapain, malem-malem ke sini? Aku tuh udah ngira kamu itu penjahat atau hantu, tau!" omelku, selepas membuka jendela.
"Disuruh masuk dulu, kek. Di luar dingin," keluhnya.
"Siapa suruh, dateng ke sini?" gerutuku. Meski begitu, aku tetap mempersilakannya masuk ke kamarku, tanpa mencemaskan keadaan. Aku mengikuti langkahnya yang menuju ranjangku.
"Kalo nggak kangen sama kamu, aku nggak mungkin dateng ke sini, Bila Sayang."
Meski terdengar gombal, aku tetap tersipu. Ternyata kerinduanku tak bertepuk sebelah tangan. Kulihat dia sudah duduk pada salah satu sisi ranjangku, begitu pula diriku.
"Emangnya kamu nggak kangen sama aku?" selidiknya.
Tentu saja aku kangen. Akan tetapi, yang keluar dari mulutku justru, "Kan besok kita juga bakal ketemu. Malah setelah itu, kita bisa ketemu terus tiap saat."
"Tapi aku udah nggak tahan mau ketemu kamu."
"Ish, lebay. Emang kalo udah ketemu mau ngapain?" tanyaku.
Bukannya menjawab, Niko justru menggaruk tengkuknya sambil meringis. "Nggak tau juga, sih."
Hening. Kami kehabisan bahan obrolan. Dan ini membuatku merasa canggung, karena tak biasa-biasanya aku dan Niko hanya diam-diaman seperti ini.
Kulirik wajahnya. Entah mengapa, aku merasa ada yang berbeda dengan wajah itu. Tampak sedikit pucat, meski tak terlalu kentara. Dari sikapnya pun aku merasakan perbedaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Malam Sebelum Akad
Short Story14+ [Teruntuk para perempuan] Saat semua lenyap dalam sekejap, di waktu krusial sebelum halal. 2 Agustus 2017