I. SEBUAH AWAL

48 0 0
                                    

Senja masih disana, menunggu langit berganti warna. Cahaya orange yang keemasan itu terpancar jelas di depan retina mataku. Dan nampaknya angina sore ini tengah mengodaku yang asyik menikmati deburan ombak yang terus menderu dengan sentuhan lembutnya.

Sekejap kututup kedua mata ini, mencoba menghapus semua bayang semu hari itu. Jikalau aku harus jujur pada keadaan, aku muak! Sungguh, tak ada kemanisan hidup yang kuteguk. Bahkan masa belum juga membawa hanyut lukaku yang terus menganga.

Mata ini akhirnya basah dengan butiran asin, yang entah kapan terakhir aku menangis seperti ini, meratapi diriku sendiri. Tubuhku seakan ambruk seketika, paradox hidup ini terlalu rumit. Dan kau tau senja? Harusnya aku tak hidup di dunia yang kejam ini. Padahal masa selalu berinkarnasi setiap detiknya, tapi sampai detik ini juga aku masih tetap terpuruk dalam sebuah penantian yang tak kunjung usai.

Kemana sosok yang selalu orang-orang sebut itu, hah? Sosok yang selalu jadi ide dalam setiap bait puisi mereka, sosok penuh cinta katanya. Ah selalu katanya!

Kirana senja mulai pudar, perlahan kubuka kedua mata ini, sedikit cahaya yang terlihat. Masih remang-remang rupanya. Pipiku sudah basah dengan rintikan yang terus mengalir tak bergemericik dari kedua bola mataku. Sudahlah! Tak perlu membahas sosok itu lagi, ia mungkin tak ada dan tak akan pernah ada.

"Fasya, ayo pulang!" teriak seorang gadis berbadan tambun dengan pipi yang penuh.

Aku menoleh, lalu beranjak dari tumpukan bebatuan yang bihasa ku jadikan alasku untuk melihat sang senja.

"kau menangis lagi?" Tanya gadis yang berumur tiga tahun lebih tua dariku.

Aku hanya menggeleng.

"lantas, mengapa matamu merah?" kali ini dahinya mengerut. Matanya berkilat-kilat, seolah siap memburuku dengan berjuta pertanyaan.

Aku bergeming.

"kau tak sedang berbohongkan?" pertanyaan lagi. Dan aku masih tetap membisu.

"Fasya, jawab pertanyaanku!" katanya, sedikit sentakan dan paksaan dari nada bicaranya.

"aku taka pa-apa, mataku terkena pasir barusan! Kau jang menghawatirkanku seperti itu lah, aku ini bukan anak kecil lagi" jawabku panjang lebar. Aku sengaja tak berbicara di depan matanya. Bella selalu bisa membaca, ia pasti akan tahu aku berbohong.

"baiklah, jika kau tak mau bercerita padaku, tapi sekarang kita pulang. Nenek mencarimu" paparnya tak terlalu banyak menanggapi jawabanku. Aku tau, Bella tak mau memperpanjang masalah. Aku hanya mengangguk, lalu berjalan bersama meninggalkan pantai.

Suara adzan mulai terdengar, dan rumah nenek hanya tinggal beberapa langkah lagi dari tempatku berdiri, aku menoleh pada Bella.

"Bel, aku pergi ke surau dulu! Bilang sama nenek kalau aku sholat berjama'ah dulu disini, ya?" pintaku.

"tapi ingat! Kau jangan pergi kemana-mana, setelah selesai kau harus langsung pulang. Jangan buat nenek cemas lagi"

"iya, tak akan!" kataku meyakinkan. Bella segera pergi dari hadapanku. Sedang aku mulai berjalan menuju rumah yang selalu ku jadikan tempatku mengadu. Sang Maha Cinta telah memanggil dan menyeru setiap hamba-Nya yang beriman. Dan aku beranjak memenuhi kewajibanku.

15 Tahun yang lalu - November 1992

Masih di tempat yang sama, di sebuah rumah yang bercat hijau. Ada kegaduhan yang tak nampak dari luar rumah itu. Tepatnya, di salah satu ruangan yang cukup lebarr. Seorang wanita berparas ayu tengah memperjuangkan kelahiran sang buah hati yang dinantinya. Peluh mulai bercucuran membasahi raut wajahnya yang panic. Berkali-kali sang bidan mencoba menenangkannya.

Wanita it uterus berdzikir, menyebut asma Allah, berharap ia tak gagal menjadi seorang ibu. Rasa khawatir tak hanya hinggap pada nuraninya. Di samping ranjang tempat wanita itu berbaring ada seorang ibu dan anak lelakinya tengah berpelukan, ada rasa bahagia disudut hati anak lelaki itu. Bagaimana tidak? Iaka akan menjadi seorang ayah pada akhirnya!

Meski perasaan cemas merajai seluruh isi hati dan fikirannya., tapi sang ibu mampu menenangkan.

"sayang, berjuanglah! Sebentar lagi aku akan jadi ayah, dank au akan jadi ibu untuknya" cakap anak lelaki itu sembari memegang erat tangan wanita yang teramat di cintainya.

Senyum itu terpancar dibalik bibirnya yang pucat pasih. Wanita itu terus berusaha sekuat tenaga. Walau ia takut, dan sungguh rasa sakit itu tak tertahankan. Dan pada akhirnya, suara tangis memecahkan rasa khawatir pada atmosfer itu.

Wanita itu menarik nafasnya dalam-dalam dan tersenyum lega. Sesosok bayi mungil itu akhirnya terlahir dari dalam rahimnya.

"selamat ibu, pak! Bayinya perempuan, cantik sekali seperti ibunya" kata sang bidan.

Tanpa menunggu komando apapun, bayi perempuan itu dirangkulnya dengan penuh cinta. Ah liat tangan mungilnya yang tengah menggeliat, matanya terlelap seketika, mulut kecilnya bergerak-gerak. Ya Rabbi karunia-Mu indah. Anak lelaki tadi memeluk sang ibu. Membagikan kebahagiaan yang tak terhingga dalam hidupnya. Dan setelah itu, diciumnya kening wanita-belahan jiwanya.

Hari itu, satu kebahagiaan di bumi telah tercipta. Kebahagiaan yang tak ada tandingannya dari apapun juga. Air mata kebahagiaan itu akhirnya mengalir dari mata indah milik wanita itu. Ia tak hentinya bersyukur pada Sang khali q atas karunia-Nya yang teramat sangat berharga dan untuk lelaki yang selalu setia mencintainya.

Meski ia tahu, kebahagiaan ini tak akan berlangsung lama. Ada kegetiran yang tersembunyi dalam nuraninya. Cepat atau lambat kebahagiaan ini harus segera ditukar kembali dengan duka.

'maafkan aku mas, aku tak bisa membesarkan buah hati kita bersama-sama' ujarnya dalam hati. Matanya menatap lekat-lekat dua bola mata lelaki yang pasti akan sangat dirindukannya.

"ada apa, sayang?" Tanya lelaki itu seketika.

"tak apa sayang, aku hanya bahagia" jawab wanita itu berbohong. Biarkan suaminya mengikuti scenario yang ada. Suaminya tak perlu tau sekarang, wanita itu tak mau merusak kebahagiaan suaminya saat ini.

Sedang sang ibu dari suaminya tadi tau. Ia tau ada sesuatu yang tengah disembunyikan menantunya. Tapi sayang, ia tak tau persis apa yang akan terjadi setelah ini.

Setiap orang telah mempunyai perannya masing-masing. Mereka semua saling bersandiwara satu sama lain, mengikuti alur cerita yang telah dituliskan dalam scenario hidup mereka. Dan tak ada satupun yang bisa merubah cerita itu.


Cerita Sang SenjaWhere stories live. Discover now