"realitas hidup yang pahit, bahkan terkadang dongeng pun tak selalu berakhir bahagia, tapi siapa aku? Aku tak punya kepantasan apa-apa untuk dapat hidup bahagia. Dan mungkin aku tak punya hak apapun untuk menuntut kebahagiaan itu"
-Fasya Raina-
Juli 2004
Gerbang hitam setinggi 2 meter itu tampak berdiri kokoh dihadapanku, meski terlihat banyak besi yang sudah mulai mengarat dan catnya yang mulai pudar termakan usia. Seragam putih biru dongker telah rapi ku keanakan. Kembali bersekolah, berharap hari baru ini akan bermakna. Setidaknya, aku tak akan diejek "anak pungut" lagi oleh teman-temanku di sekolah menengah pertama ini.
Kakiku masih terus melangkah menelusuri setiap koridor sendirian, mencari kelas baruku.dan "BRUK" aku terjatuh di atas lantai licin tepat di depan pintu kelas yang ku cari.
"ah sial!" gerutuku sambil mengaduh kesakitan. Sebuah tangan mengulur tepat dihadapanku. Aku mengadah ke atas, sosok itu tersenyum begitu bersahabat. Namun, aku tak bisa merespon lebih baik padanya, hanya menerima uluran tangannya dan mengucapkan terima kasih. Setelah itu, berlalu begitu saja.
Aku memang terkesan acuh pada lingkungan di sekitarku, dan selama ini aku tak punya teman dekat satupun atau sahabat yang katanya bisa menjadi pemberi warna dalam hidup. Tapi, menurutku teman ya hanya sekedar pelengkap dalam lingkungan saja. Aku hanya tak mau, jika harus merasakan kekecewaan karena aku menjalin sebuah pertemanan. Mengenal mereka dan tanpa harus masuk ke kehidupan mereka itu lebih dari cukup.
Aku duduk di bangku depan paling ujung. Ku rebahkan tubuhku di atas kursi kosong itu, sekilas mata ini menatap sekitar. Suasana yang asing dan untungnya seisi kelas ini sibuk dengan urusan mereka masing-masing., sehingga aku tak perlu banyak bercakap-cakap hari ini. Ah kembali beradaptasi!
"hey masih pagi, kau sudah melamun" ujar gadis berkacamata kepadaku.
Aku terhenyak. "Ah, dia lagi!" gumamku.
"aku tak sedang melamun" balasku acuh. Gadis itu menatapku bingung.
"siapa namamu?" tanyanya lagi.
"aku maksudmu?" tanyaku memastikan. Tak biasanya ada orang yang ingin mengajakku ngobrol.
"ya kau! Lantas siapa lagi?" ujarnya sambil menunjuk-nunjuk ke arahku.
"Fasya Raina" balasku singkat. Ia malah menggaruk kepalanya. Tapi, ia mencoba tersenyum ke arahku dan kembali mengulurkan tangan kanannya.
"salam kenal, aku Kei" aku membalas menjabat tangannya.
"hanya Kei? Eh maksudku namamu hanya satu huruf? Sebuah pertanyaan yang cukup panjang yang pernah ku lontarkan sepanjang hidupku untuk urusan perkenalan ini. Kei hanya terkekeh mendengarnya.
"lho kok ketawa? Emang ada yang lucu ya?" tanyaku lagi.
"nggak, habis kamu nanyanya aneh sih" balas Kei.
"iya, namaku c uman 3 huruf dan hingga saat ini aku ngga tahu alasan orang tuaku memberiku nama Kei" sambungnya dengan ekspresi wajahnya yang polos. Dan pada akhirnya kami larut dalam percakapan ynag penuh dengan canda hingga Bu Rani datang.
Ada yang berbeda di sini, aku tak percaya akan begitu akrab dengan Kei. Keramahannnya membuatku sedikit membuka diri untuk berteman dengannya. Kei juga menawariku untuk menjadi teman sebangkunya. Sebuah tawaran yang tak mungkin bisa ku tolak, karena pada dasarnya aku tak ingin merasa terasingkan di sekolahku sendiri.
Suasana kelas ynag sejak 5 menit tadi terdengar sangat gaduh layaknya keramaian pasar dengan sekejap tampak tenang tatkala seorang wanita berjilbab cream dengan pakaian guru yang nampak serasi itu datang dengan senyuman.
Senyuman itu tertangkap jelas oleh kedua retina mataku. Ada radiasi tersendiri yang ku rasa, siapa wanita itu? Ah mengapa ada desiran tersendiri di hati ini, ah ada apa denganku?
Wanita itu tegak berdiri di depan, ia mengucapkan salam lalu mulai memperkenalkan dirinya dan bercerita sekilas tentang keluarganya.
"Sya, kok Bu Rani mirip sama kamu ya?" Tanya Kei membuyarkan konsentrasiku. Aku tertegun sejenak. Mirip? Ah tak mungkin, ibuku tak mungkin ada di sini.
"ngaco kamu! Kacamata udah tebel kayak gitu aja masih salah liat" jawabku asal-asalan.
"masa sih? Mh, kayaknya aku harus periksa minusku lagi" ujar Kei. Aku tak menggubris respon dari Kei. Namun, pertanyaan yang sempat terlontar dari mulut Kei menggoyahkan nuraniku. Mungkinkah? Tapi, jelas-jelas Bu Rani menceritakan keluarga kecilnya. Aku tatap Bu Rani sekali lagi, nuraniku kembali menggebu. Mungkin ini karena kerinduanku pada sosok yang tak pernah ku kenal semakin mendorongku untuk mencarinya.
Januari 1993
Seorang laki-laki tertunduk lesu di atas sofa, hatinya tengah bergejolak, ia mencoba menahan amarahnya. Sedang wanita yang berdiri tak jauh darinya menghela nafas perlahan. Air matanya sudah membendung dan siap di alirkan.
Atmosfer ruangan menjadi sangat kalut. Lalu wanita itu menoleh kea rah tempat tidur, di sana terbaring seorang bayi mungil tengah tertidur lelap. Bendungan itu akhirnya pecah, air matanya mengalir deras.
"mas, maafkan aku! Sungguh, ini bukan kemauanku" ujar wanita itu diiringi tangisnya yang tak bermelodi.
Lelaki yang diajaknya bicara tadi mengangkat kepalanya. Tatapannya lurus kedepan.
"ini bukan salahmu, dan harusnya aku yang sadar dari awal. Aku tak pantas menjadi suamimu" timpalnya. Mata elangnya masih menatap lurus ke deapan. Ia tak menoleh sedikitpun kepada lawan bicaranya itu.
"biar aku dan ibu yang akan membesarkan Senja. Esok, kita akan resmi bercerai" lanjutnya. Ada beban tersendiri di akhir kalimatnya. Ah, mengapa harus secepat ini kebahagiaannya musnah? Padahal ia baru saja merangkai angan bersama keluarga kecilnya dan esok, ia harus membesarkan Senja sendiri tanpa wanita yang paling di cintainya. Serasa langit akan runtuh.
Wanita itu mendekat, lalu duduk disamping lelaki tadi. Mereka terdiam cukup lama. Membeku dalam sepi. Lelaki itu menoleh dan di peluknya wanita berparas ayu yang 2 tahun lalu ia nikahi itu. Erat sangat erat. Ia seolah tak mau melepaskannya begitu saja.
Perlahan pelukan itu terlepas dan kemudian kedua bola mata mereka bertemu. Ah kalau saja ia tau tentang penyakit yang di derita isterinya sejak awal. Kalau saja ia punya banyak uang untuk menjamin kesembuhan isterinya, perjanjian di atas materai itu tak akan pernah terjadi.
Lelaki itu tau, isterinya ingin membahagiakan dirinya. Bahkan ia harus bertaruh nyawa karena resiko keselamatannya saat melahirkan teramat sangat kecil.
Tapi, nasi telah masak menjadi bubur. Minggu depan ia akan melihat isterinya menikah dengan lelaki yang telah di jodohkan oleh orang tua sang isteri. Merelakan rasa yang terlanjur berbuah dan ia jaga bertahun-tahun lamanya.
Tangan wanita itu di genggamnya, lalu dikecup keningnya dengan penuh kasih. Bibirnya sengaja ia dekatkan pada telinga isterinya. Ia berbisik perlahan.
"meskipun raga ini tak bersamamu lagi, namun cinta ini tak akan berubah. Ia akan tetap sama pada saat kita pertama kali bertemu. Senja akan tumbuh menjadi wanita hebat sepertimu. Aku mencintaimu, sayang"