Prolog

9 0 0
                                    

Adzan subuh sayup-sayup terdengar dari luar jendela kamar itu, begitupun suara tangis yang tiada hentinya sejak semalam.

Kamar itu hampir gelap, satu-satunya penerangan berasal dari lampu tidur redup yang menempel di dinding samping ranjang berantakan. Sania, duduk sambil memeluk selimut untuk menutupi seluruh dirinya, hanya kepalanya saja yang tidak di balut selimut, tubuhnya benar-benar terasa remuk setelah apa yang dilakukan suaminya semalam, darah segar masih terus mengalir membasahi seprai putih dikakinya, dan Sania merasakan tubuhnya menegang kaku saat mendengar suara pintu kamar mandi terbuka, tangannya gemetaran seiring suara langkah kaki mendekati ranjang, langkah kaki itu berhenti sejenak saat kemudian tiba-tiba si pemilik langkah mengbungkuk di tempat tidur untuk meraih dagu Sania, mencengkeramnya erat hingga terasa menyakitkan.

"Dengar, Sania, aku harap setelah ini kau mau mengikuti keinginanku." Sania menunduk dalam, sangat takut bertemu tatap dengan lelaki di depannya,"Kalau di tanya itu Jawab!!!" Seru tidak sabar lelaki itu.

"Iya." Sania menjawab lirih dengan suara yang hampir hilang.

"Bagus, aku mau surat perceraian kita sudah aku terima maksimal 3 hari lagi dengan tanda tanganmu, ingat Sania, jika kau masih menolak mengajukan tuntutan cerai padaku, aku pastikan kejadian semalam, akan terulang lagi dan lagi. Paham!!!" Lelaki itu, suami Sania, menempelkan kening mereka berdua dan mencengkeram rahang Sania semakin erat hingga ia hanya bisa menjawab dengan anggukan.

"Bagus!" Suami Sania melepas cengkeramannya dengan kasar hingga tubuh Sania hampir terbanting di kasur.

Suami Sania berjalan menjauh menuju pintu keluar dan berbalik untuk melihat Sania,"berhentilah menangis Sania, telingaku sakit!" Hardikan itu di ikuti bantingan pintu yang sangat keras, sedang yang di hardik terdiam, memeluk selimut dengan masih sesungukan.

SaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang