Kecelakaan

7 0 0
                                    

Siang telah bernjak, matahari mulai turun dari singgasananya untuk digantikan rembulan, namun awan badai kelabu yang bergulung-gulung menghalangi indahnya langit senja dari pandangan Sania. Dua hari telah berlalu sejak Ummi mengajak Sania untuk tinggal bersamanya di apartemen mungil miliknya, usai mereka berdua pergi ke pengadilan agama untuk mengajukan tuntutan cerai Sania. Memandang jenuh keluar jendela, terbersit kembali keinginan pergi dari kota yang penuh sesak dengan kendaraan ini, mungkin ke desa yang asri akan sangat menyenangkan. Suara petir membangunkan Sania dari lamunannya, hujan turun semakin deras membuat Sania teringat hari itu, 1 tahun yang lalu saat ia mengalami kecelakaan, cuacanya juga hujan petir seperti saat ini. Perlahan Sania memejamkan matanya, menarik nafas panjang dan menghembuskannya,  mengingat hari itu membuat sekujur tubuhnya terasa sakit.

«*»

Hari itu hujan sangat deras turun dari awan kelabu hampir hitam bergulung-gulung di langit disertai petir menggelegar, angin kencang membawa butirannya yang dingin pada orang-orang yang berteduh, namun cuaca mendung ini tidak mampu menyurutkan senyum lebar seorang gadis jelita, ia tengah berdiri di pelataran hotel tempat wisudanya baru saja di laksanakan, rambutnya masih tersanggul rapi dengan kebaya putih membalut tubuh kecilnya, cantik seperti pengantin.

"Sania!" Kawannya memanggil dari dalam mobil sedan hitam,"Ayo aku antar pulang, hujannya deras sekali, mungkin sampai malam juga belum reda." Ajaknya menawarkan tumpangan.

"Tidak usah Anggi, terimakasih, kosku dekat, kalaupun terpaksa hujan-hujanan tidak akan sampai 10 menit jalan kaki." Tolak Sania.

"Oke, hati-hati saat menyebrang ya." Anggi mengingatkan.

Sania hanya tersenyum sambil melambaikan tangan begitu mobil yang di naiki Anggi mulai melaju menembus hujan. Satu persatu kawan seangkatannya pulang meninggalkan hotel, membuat Sania berdiri seorang diri di pelataran. Sore sudah menjelang, dan belum ada tanda-tanda hujan akan reda, membayangkan kamar kosnya yang kecil, nyaman, juga selimut hangat membuatnya mengambil keputusan, tidak apa berhujan-hujan 10 menit saja. Dengan memikirkan ini, Sania melangkah menembus hujan, membuat seluruh tubuhnya kuyub. Saat hendak menyeberang di perempatan jalan, Sania mendengar suara teriakan banyak orang, ia ingat lampu pejalan kaki masih merah karenanya ia menunggu di trotoar, lalu ia mendengar suara benturan yang sangat keras sebelum seluruh dunianya menjadi gelap.

««*»»

Ruangan putih berbau alkohol adalah hal yang pertama kali disadari oleh Sania saat membuka matanya. Hal selanjutnya yang disadarinya adalah dirinya terbaring di ranjang yang nyaman, tangan kirinya diinfus, dan di hidungnya ada alat bantu pernafasan, dadanya memang terasa sedikit sesak.

Sania menolehkan kepalanya saat mendengar suara pintu terbuka, seorang suster masuk sambil membawa catatan di tangan kirinya, ia memakai seragam batik berwarna biru tua, celananya hitam polos, dan kerudungnya biru muda, dari pengamatan sekilas Sania suster itu mungkin masih berusia 30 tahun.

"Ah! sudah bangun rupanya, saya panggilkan dokter dulu ya." Seru si suster ketika melihat Sania telah sadar.

Hanya beberapa menit yang seperti kedipan mata bagi Sania, si suster kembali bersama seorang dokter yang kemudian Sania tau bernama ibu Risma dari percakapan suster dan dokter itu. Dokter Risma memeriksa kondisinya, mengukur tekanan darah dan denyut jantungnya, apa dia sempat koma? Sania ingat hujan deras di hari wisudanya, saat dia menunggu lampu penyeberangan jalan berubah warna menjadi hijau, apakah saat itu dia mengalami kecelakaan? Orang-orang berteriak menyuruhnya menyingkir, padahal dia sudah berdiri di trotoar jalan.

"Suster, keadaan nona ini baik-baik saja, tapi tetap harus di awasi mengingat dia baru sadar dari koma, ganti infusnya suster, dan transfusi darahnya bisa dihentikan siang ini." Saat dokter Risma mengatakan transfusi darah, Sania menyadari tangan kanannya juga diinfus.

Sania ingin sekali bicara, tapi tenggorokannya sakit, seperti tidak minum berhari-hari. Saat dokter Risma pamit dengan menitipkan beberapa pesan lagi yang sama sekali tidak di mengerti Sania pada suster, dia berusaha bangun namun seluruh tubuhnya kaku.

"Jangan bangun dulu," kata suster mencegah Sania, namun yang membuat Sania terkejut adalah perkataan selanjutnya dari suster,"nona baru bangun setelah 1 minggu koma, jadi tubuh nona masih lemas, nona butuh bantuan apa biar saya bantu?"

"A....ir...r" suara Sania seperti orang tercekik.

Suster dengan sigap menaikkan sedikit posisi ranjang Sania, sehingga saat ini posisi kepala Sania lebih tinggi dari kakinya, ia mengambilkan Sania minuman dalam botol kemasan beserta sedotan, Sania minum dengan perlahan sampai air dalam botol tandas setengah, ia benar-benar haus.

"Terimakasih." Suara Sania masih sangat lirih seperti bisikan, tapi setidaknya tidak terdengar seperti orang tercekik.

"Saya tinggal dulu untuk memeriksa pasien yang lain, 1 jam lagi saya akan kembali untuk mengganti infus." Suster pamit dengan senyum merekah, mungkin turut senang karena Sania sudah bangun dari komanya, sedang yang dipamiti tidak bisa berbuat banyak selain mengangguk.

Sania terdiam memandang langit-langit kamar yang berwarna putih bersih, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi hingga ia bisa terbaring di ranjang ini, saking hanyutnya Sania dalam lamunan hingga ia tidak menyadari suster yang tadi datang memeriksanya sudah kembali dengan mendorong troli berisi obat-obatan dan peralatan medis.

"Nona Sania." Sapaan halus itu membangunkan Sania dari lamunan panjangnya.

"Ayo saya lepas transfusi darahnya, lalu kantung infusnya juga saya ganti." Suster itu dengan sigap melepas jarum infus transfusi darah di tangan kanan Sania, kemudian beralih ke sebelah kiri ranjang untuk mengganti kantung infus Sania.

"Nona, ini saya beri obat penenang agar nona bisa beristirahat, nanti sore saya datang lagi untuk pemeriksaan rutin ya." Ucap suster sambil tersenyum.

"Terimakasih suster." Sania menjawab lirih, terbawa rasa kantuk yang tiba-tiba menyerang membuat Sania memejamkan mata untuk mengistirahatkan tubuhnya hingga nanti ia terbangun dengan sendirinya.

««*»»

Malam telah larut saat Sania membuka mata, infus ditangan kanannya telah dilepas dan cairan infus di tangan kirinya telah diganti. Sania mengerjab beberapa kali untuk menyesuaikan penglihatannya yang buram, kemudian matanya melihat menjelajahi dinding mencari keberadaan penunjuk waktu.

"Kau sudah bangun." Terkejut, Sania menolehkan kepalanya memcari sumber suara.

"Siapa anda?" Tanya Sania pada lelaki asing yang kini berjalan mendekatinya.

"Alan." Jawabnya singkat, "Ayahku memiliki penyakit jantung, seminggu yang lalu jantungnya tiba-tiba kambuh saat menyetir mobil, ia kehilangan kendali dan menabrakmu, aku ingin meminta maaf mewakili beliau." Lanjut Alan.

"Apa beliau baik-baik saja?" Tanya Sania khawatir.

"Ya, dia tidak mengalami luka serius, meski keadaan jantungnya buruk, ayahku ingin bertemu denganmu begitu kau sadar."

"Tapi ini sudah larut."

"Masih jam 9 malam." Alan berjalan kedekat pintu untuk mengambil kursi roda dan membawanya kesamping tempat tidur Sania, ia kemudia memindahkan kantung cairan infus sania ke tiang infus di belakang kursi roda dan mengangkat Sania perlahan untuk memindahkannya ke kursi roda.

"Aku bisa berjalan sendiri." Sania hendak turun dari kursi roda.

"Tidakkah dokter memberi tahumu? Kau tidak akan bisa berjalan lagi akibat kecelakaan yang kau alami, mungkin bisa jika kau pergi berobat ke Arab Saudi atau Inggris atau Amerika, tapi biayanya akan sangat mahal." Alan mengatakan Informasi itu dengan nada ringan namun Sania seakan kehilangan nafas ketika mendengarnya.

'Tidak bisa berjalan? Aku lumpuh?' Pertanyaan dan pernyataan itu terus berputar dalam benak Sania, mengurungnya dalam alam pikiran yang bergemuruh dengan kebingungan, kesedihan dan keterkejutan, hingga ia tidak merasakan dinginnya hembusan angin malam yang membawa rintik hujan ketika Alan dengan tenang mendorong kursi roda Sania melewati taman.

SaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang