Pernikahan

8 0 0
                                    

"Menikahlah sekarang, dihadapanku, aku... ingin menyaksikan pernikahan kalian." Suara lemah itu berucap terbata, yang mendengar hanya diam membisu.

Setengah jam yang lalu Alan membawa Sania memasuki ruang perawatan ayahnya, pak Gerarld, setelahnya yang Sania dengar adalah permohonan maaf berkali-kali. Lelaki tua ini begitu menyesal, akibat kecerobohannya Sania lumpuh dan kehilangan semua asa yang ia rajut bertahun-tahun, karenanya, demi menebus kesalahannya, ia meminta putra semata wayangnya, Alan, untuk menikahi Sania setidaknya dengan begini ia yakin hidup Sania terjamin.

Namun Sania menolak niat baik itu, bagaimana mungkin Sania menyalahkan pak Gerald atas kecelakaan yang tidak dia sengaja, bukan salah beliau jika saat itu penyakit jantungnya kambuh, jadi tidak, Sania menolak untuk menikahi Alan.

"Aku mohon Sania, aku sudah tua, penyakitku tidak mungkin sembuh, cepat atau lambat aku akan mati karena penyakit ini, aku mohon Sania, menikahlah dengan Alan, aku akan sangat sedih jika kau menolak permohonan maafku." Mata lelaki tua itu berkaca-kaca oleh air yang hampir tumpah.

Melihat ayahnya hampir menangis membuat Alan mengambil keputusan, "Pak Teguh, tolong panggilkan penghulu, dan 2 orang saksi dari KUA, minta juga Pak Haris pengacara pribadi ayah untuk kemari segera." Alan bersuara memecah keheningan, meminta tolong pada pak Teguh asisten ayahnya.

"Sania, aku ingin bicara sebentar denganmu." Sania tidak sempat menjawab saat Alan mendorong kursi roda Sania menuju pintu keluar, mereka berhenti di taman rumah sakit yang sepi hanya diterangi cahaya remang dari lampu taman.

"Menikahlah denganku, aku akan memberikan apapun yang kau mau sebagai gantinya, kita bisa bercerai segera setelah ayahku sehat, mungkin 6 atau 7 bulan lagi jika melihat kondisinya saat ini." Alan menawarkan dengan ringan.

"Apa kau menganggap pernikahan hanyalah permainan?" Tanya Sania sedih.

"Apa bedanya? Menikah ataupun tidak sepasang kekasih tetap bisa berhubungan dan memiliki anak, lagi pula saat ini sudah wajar bercerai diumur pernikahan yang masih sangat muda."

Jawaban Alan justru membuat Sania semakin sedih, ia terdiam bingung harus berkata apa, dari cara Alan menyikapi hal ini saja sudah bisa dipastikan dia adalah orang yang memandang remeh masalah rumah tangga. Sania tidak ingin menikah dengan orang seperti itu, ia berharap mendapat pasangan yang mengerti pentingnya mendidik istri dan anak, sedang Alan? Tidak, Sania tidak mau.  Terlalu lama terdiam dan hanyut dalam lamunan tanpa Sania sadari membuatnya terkejut saat Alan mendorong kursi rodanya.

"Jika kau diam berarti kau setuju." Alan memutuskan secara sepihak.

"Tapi aku tidak mau bercerai, aku ingin menikah sekali saja seumur hidupku." Ucap Sania menentang.

"Kalau begitu aku tinggal menceraikanmu, keputusan bercerai atau tidak itu kan berada ditangan lelaki." Jawab Alan ringan.

Sania tidak sempat membantah keputusan sepihak dari Alan karena mereka telah tida di kamar rawat Ayah Alan. 15 menit kemudian semua orang yang di minta Alan datang, akad nikahpun berlangsung cepat dan sederhana, pak  Gerald tersenyum lega melihat pernikahan putranya dihadapannya, seperti ada beban yang sangat berat terangkat dari tubuhnya. Senyum itu masih terus tersungging meski mata tuanya mulai menutup, untuk selamanya. Dokter segera datang memastikan kondisi pak Gerald, mereka berusaha semaksimal mungkin menyelamatkannya, namun nyawa manusia bukan manusia yang menentukan. Alan hanya diam melihat kepergian ayahnya meski hatinya berkecamuk luar biasa. Ia menggenggam erat pegangan kursi roda yang diduduki Sania.

Dalam benaknya terus terrngiang, pesan terakhir ayahnya, "Alan, jangan pernah menceraikan Sania, Alan jaga Sania untuk ayah." Ucap pak Gerald dengan suara lemah.

««*»»

Ayah Alan dimakamkan sehari setelah kematiannya, tidak banyak orang yang datang, hanya sahabat baik dan rekan-rekan bisnis beliau, menurut Alan, mereka memang tidak memiliki keluarga yang lain, hanya Alan dan Ayahnya setelah kepergian ibunya. Satu bulan telah berlalu sejak hari itu, hari pernikahan Alan dan Sania sekaligus hari kematian Ayah Alan. Sania kini tinggal bersama dengan Alan disebuah apartenmen mewah, apartemen Alan terletak dilantai 21, lantai paling atas, dari sini pemandangan kota dapat terlihat jelas, karenanya Sania senang menghabiskan waktu didekat jendela, memandang langit atau kota yang riuh dengan manusia. Sania tidak pernah melakukan pekerjaan rumah selain memasak, ada Cleaning Service yang datang tiap jam 7 pagi sampai jam 9 pagi untuk membersihkan apartemen, Alan selalu membeli makanan diluar, padahal Sania berharap sekali waktu Alan mau menemaninya makan, namun Sania tidak berani memaksa Alan, ia khawatir pria itu akan marah, lagi, dan mencaci makinya sebagai pembunuh, sebagai orang yang bertanggung jawab atas kematian ayahnya. Padahal Sanialah korban sebenarnya dalam hal ini.

Malam sudah sangat larut saat Sania mendengar suara pintu terbuka, Alan pulang. Sania menolehkan kepala dan memutar kursi rodanya menghadap pintu untuk menyapa Alan.

"Alan, makanlah dulu, aku menyiapkan makan malam untukmu." Sania menyambut dengan senyuman cerah.

"Aku sudah makan." Alan berlalu masuk ke dalam kamar, meninggalkan Sania sendirian di ruang tengah, masih didekat jendela yang menampilkan gemerlap lampu perkotaan.

Sania menghela nafas, melajukan kursi rodanya menuju kamar Alan. Selama Sania tinggal bersama Alan, kamar mereka terpisah Alan benar-benar tidak mau berdekatan dengan Sania dalam keadaan seperti apapun.

"Alan, mau aku buatkan susu hangat?" Tanya Sania diambang pintu.

"Tidak, kau pergilah." Usir Alan sedikit kasar.

Dengan kembali menghela nafas Sania pergi menuju kamarnya sendiri. Begitulah Alan kepada Sania, kasar, dingin, selalu menganggapnya tidak ada, atau mungkin berharap Sania tidak ada? Sania hanya bisa berdoa agar Alan kelak mau menerimanya sebagai istri, doa yang tidak pernah putus ia panjatkan sejak pernikahan mereka.

Namun Sania tahu mungkin usahanya meraih hati Alan akan sia-sia, karena Alan sengaja bersikap kasar agar  Sania membencinya, dengan begitu Sanialah yang akan mengajukan tuntutan cerai. Meski Alan seorang yang berperingai buruk dan terlibat dengan pergaulan bebas, namun ia anak yang berbakti pada ayahnya, Alan tidak akan melanggar satupun perintah ayahnya, apa lagi wasiat, dan pesan terakhir ayahnya adalah untuk tidak pernah menceraikan Sania, menjaga Sania baik-baik, meski Alan melakukannya setengah hati saat ini.

Alan memiliki seorang kekasih yang di cintainya dan sangat ingin dinikahinya, namun Alan tidak bisa menikahi kekasihnya selama masih terikat dengan Sania. Untuk itulah ia berusaha sekuat tenaga membuat Sania membencinya dan mengajukan tuntutan cerai kepadanya. Alan telah merencanakan segalanya, hanya saja Alan lupa memperhitungkan bahwa Sania dan dirinya sama-sama memiliki tekat sekuat baja. Butuh waktu lama membuat Sania membencinya, dan lebih lama lagi untuk membuat Sania mengajukan tuntutan cerai kepadanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 25, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang