Mama

14 0 0
                                    

17 Desember 2013

Ulang tahun Mama

Aku berjalan sedikit tergesa menuju apartment saudari tiriku, Patricia. Sedari tadi awan mulai menghitam disertai hembusan angin yang cukup kencang. Benar saja, di persimpangan jalan hujan mengguyur amat deras namun jarak tempatku berdiri dan pintu apartment Patrish, sapaan akrabku, sudah sangat dekat. Kuputuskan menerjang hujan.

Aku tidak yakin apakah dia bersedia membukakan pintu untukku...

Lagipula aku sudah datang sejauh ini, apa mungkin aku harus kembali hanya karena takut membuat kegaduhan disini.

Belum sempat kuketuk pintu apartment yang terbuat dari kayu mahoni yang diukir apik itu, sang empunya rumah rupanya sudah punya firasat akan kedatangan tamu, tak diundang.

"Oh kamu.."

Mukanya sedikit pucat, mungkin karena udara disini memang terlalu dingin.
Kemudian dia memperhantikanku dari atas hingga ujung kaki, kemudian kembali pandangannya tertuju kepada bucket bunga di tangan kiriku, juga box kue ditanganku.

Nampak raut muka cantiknya sedikit terkejut

"Aku boleh masuk, kak?"

Ia teesigap dan lalu mempersilahkan ku masuk dengan sedikit melebarkan daun pintu yang sedari tadi dipeganginya.

Kami berjalan menuju ruang tengah dengan tanpa bertukar kata. Aku malas sekali bila harus selalu memulai percakapan, apalagi bila harus penuh tata krama sudah semacam bangsawan saja.

"Kau mau apa?"

Tanyanya seketika membuatku cukup terkejut, kupikir karena dia lebih tua maka dia paham bagaimana caranya menjamu tamu dengan baik.

"Bertemu ma.."

Patrish menghela napas, cukup panjang, dan aku tidak suka mendengarnya.

"Ayolah, Jo! Berhenti ngelakuin ini."

Air mukanya kini merah menyala, tak pucat seperti saat pertama aku datang ke rumah ini. Rupanya kedatanganku sedikit memberikan aura positif kepadanya.

Aku tertegun saja

Patrish menuju arah pantry dan mulai membuatkan segelas cokelat panas untukku, mungkin, atau untuk dia sendiri bisa jadi.
Harum cokelat panas yang begitu kukagumi menyerbak ke seluruh penjuru ruangan. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum karenanya. Belum lagi hayalanku untuk berkumpul keluarga dan merayakam ulang tahun mama akan segera terlaksana, meskipun tanpa papa.

Patrish memandangi rintik hujan di luar ruangan dengan tatapan kosong, mukanya yang pucat pasi dihiasi rona merah di pipi.

"Jo...", Ucapnya amat pelan.

Kuhentikan ketukan tanganku pada meja kayu mahoni yang dibeli Patrish dari Jepara 2 Tahun lalu itu, saat Papa masih ada.

"Mama udah ngga tinggal disini."

Aku tertegun, apa yang sudah kulewatkan hingga tidak pernah sama sekali aku mendengar bahwa Mama sudah tidak tinggal dengan Patrish.

Kami terdiam untuk beberapa menit, sembari aku menahan tangis yang mingkin bisa meledak kapan saja kuputuskan untuk mengirim pesan kepada Gamal, teman baikku.

Kepada : Gamal
Kamu dimana? Aku butuh bantuan.
Sent 15:36 WIB

"Aku ngga dapat kabar apapun tentang ini, Kak." Jelasku, mencoba menegaskan bahwa ia tak pernah sekalipun memberitahu kabar kepergian Mama.

"Mama yang minta, dia merasa sudah cukup membebani kita, Jo. Apa yang bisa saya lakukan? Itu sudah ke seratus kali lebih Mama menginginkan pergi. Sudahlah, kau cari saja hal lain yang ..."

"Kak! Itu Mama! Kita sedang tidak berbicara mengenai hal lain! Ini Mama.  Mungkin dia bukan ibu kandung Kamu, Kak. Tapi dari kecil Mama yang mengurus kita, dia besarin kakak, mendidik Kakak dengan sama baiknya..."

"Cukup, Saya sedang tidak ingin berdebat dengan siapapun." Patrish mengatur nafasnya dan kembali sibuk mencari-cari bahan makanan di kulkas, setelah menyerahkan secangkir Cokelat Panas untukku.
Dia masih Patrish yang dulu.

Terdengar bunyi gelang kaki dan langkah kecil dari arah tempat tidur, Herretcha, anak kedua Patrish dan Mas Bayu, rupanya baru bangun dari tidur siangnya dengan pipi menggembung dan mata bulatnya yang ia kucek, ia berlari kecil ke arah Ibunya, sungguh anak yang sangat manis.

"Mommy, I wanna drink some water." Retcha merajuk, diminumnya secara lahap segelas air mineral di gelas bermotifkan corak kulit Sapi, hitam putih, kesukaannya. Dia belum menyadari keberadaanku rupanya.
"Retcha, Your aunty is here. Dont you wanna say hello to her?" Jelas Patrish lembut. Retcha menoleh ke arahku dan tersenyum sangat manis, namun dia mengurungkan diri untuk menghampiriku mungkin karena kita memang jarang bertemu.

Dari: Gamal
Aku menuju rumahmu, kau dimana?
Received 16:20

"Mas Bayu masih sering kesini, Kak?" Tanyaku yang membuat Patrish sedikit menghela napas

"Tidak, dia sudah kembali kepada istrinya terdahulu, istrinya ternyata tidak mandul dan Mas Bayu akhirnya bisa punya anak dari istri Sahnya itu, mengharukan bukan?" Jelasnya sambil terus merapikan barang-barang yang kuyakin tidak seharusnya ia bereskan.

Kini aku yang menghela napas,
"Kau tak ingin menangis, Kak? Aku bisa menyediakan pundakku jika kau mau."

Herretcha kini asyik menonton Finding Nemo di layar iPad nya.

"Sudah habis pula air mataku, Jo. Apa yang harus aku tangisi lagi setelah semua kebaikan yang bisa Mas Bayu berikan kepadaku." Jelasnya yang membuat hatiku semakin tidak karuan.
Bagaimana mungkin ada perempuan setegar dia yang merelakan Suaminya pergi dan dia juga harus membesarkan dua anaknya seorang diri di apartment yang sangat sempit dan minim penghuni ini, pasti sangat berat, pikirku.

"Dia menceraikanmu?"
Apakah ada yang salah dalam pertanyaanku?

"Tidak, Jo. Dia teramat mencintaiku kau tau itu."

"Tidak, Kak. Aku sudah lama tidak mengetahui apapun tentang kalian..."

"Ini juga merupakan alasan kenapa Mama pergi, Jo, tepat setelah Mas Bayu membawa Axcel bersamanya untuk tinggal dengan Mba Rita, Mama berseteru dengan saya, dengan keadaan fisiknya yang sekarang, Mama lebih mudah sakit hati, Jo. Dia mungkin mencintai saya dan tidak ingin melihat saya terus menerus dalam kesakitan, tapi Mama kan tidak pernah tau bahwa lelaki yang menikahi saya adalah Suami orang lain. Mama bersikeras agar saya mempertahankan hubungan dengan Mas Bayu, membuatnya tetap tinggal bersama kami agar Retcha tidak tumbuh seperti kita."
Dia lalu duduk di seberang meja berhadapan denganku sambil menaruh sepiring Kentang goreng yang sedari tadi ia siapkan.

"Saya rasa itu sudah cukup untuk kamu ketahui, kita sedang tidak dalam keadaan yang baik-baik saja untuk membicarakan hal semacam ini kau tau itu, 'kan?" Jelasnya lagi

"Kak, aku ini adikmu, memangnya apa yang bisa membuat kita jadi tidak baik-baik saja? Kenapa kau selalu mengungkit masa laluku?" Tanganku sedikit gemetar karena lagi-lagi hal ini dibawa ketika suasana sudah hampir cair.

Apakah manusia tidak berhak melakukan kesalahan?

"Memangnya kau pikir mudah untuk hidup diantara orang-orang yang rumah tangganya selalu gagal? Kalian tid...." astaga, apa yang aku lakukan.

"CUKUP!!" Matanya kini memerah, bulir air mata mengalir begitu saja seperti kesedihan yang lama sekali ia simpan ahirnya keluar.

"M..maafkan aku."

Retcha menangis lebih kencang dari yang bisa kubayangkan, tangisan anak balita yang tidak tau arahnya kemana, apa mungkin dia mengerti apa yang kami bicarakan? Atau dia hanya menangis karena ibunya menangis? Ini membingungkan sekali, aku semakin merasa bersalah.

"Aku pamit kalau begitu, kau bisa menghubungiku lewat telepon jika kau tau dimana ibu berada, aku akan mencari ibu, dengan atau tanpa restumu, Kak. Maaf jika aku adalah aib bagimu. Terimakasih, cokelatnya dan kentang yang kau buat selalu enak seperti dua tahun lalu." Kuletakkan kartu namaku, kartu nama yang sengaja kubuat sendiri agar memudahkanku dalam situasi seperti ini.

JOANNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang