Ciel Sombre

48 3 2
                                    

Esa selalu terlihat ceria di mata semua teman sekolahku. Namun, aku tahu sesungguhnya ia tak seceria itu. Entahlah, setiap aku berdiam diri di pinggir pantai, Esa ada di sana, menatap langit malam yang gelap, yang hanya ada sedikit bintang.

Aku pun begitu. Sebetulnya aku tak suka gelap. Namun, aku sangat suka langit jingga di senja hari.

Suatu hari saat aku melihat matahari tenggelam di pinggir pantai dan aku terlalu menikmati fenomena alam itu, sampai-sampai aku terlelap di batu karang dan langit pun ternyata sudah gelap. Saat itu aku melihat punggung seorang lelaki yang sedikit bergetar berjarak sekitar sepuluh meter dariku. Dari jaketnya, aku tahu itu jaket almamater. Dari postur tubuhnya, aku tahu dia ketua kelasku, dia Esa.

Ah, mungkin sejak saat itu aku mulai menyukai langit gelap, dengan catatan menatapnya di pinggir pantai, bersama Esa dengan tatapan kosongnya yang membuat aku ikut merasakan kesedihannya.

Sejak saat itu juga, jika aku ada waktu pasti ku sempatkan untuk ke pantai saat langit mulai menampakkan warna hitam.

Berdiam diri sejauh sepuluh meter di sampingnya, menatap langit gelap, dan mendengar suara air pantai di malam hari sudah cukup untukku merasakan kesedihan yang dirasakan Esa.

Aku tidak mengerti mengapa aku seperti ini. Aku hanya merasa merasakan apa yang dirasakan Esa. Lelaki yang dikenal humoris itu selalu terlihat murung kala berdiam diri di pantai.

Terkadang, Esa mengambil buku kecil dari tas hitamnya, lalu menulis sesuatu di dalam sana. Esa unik, tak seperti lelaki lainnya.

Ia suka menulis. Menulis puisi dengan diksi yang indah. Bahkan, kadang aku tidak mengerti apa maksud dari puisi buatannya karena kata-kata yang digunakan oleh Esa sangat asing bagiku, tapi sungguh indah.

Esa sering memperlihatkan hasil karyanya ke teman-teman di kelasku, termasuk aku. Mereka semua pasti langsung menyoraki Esa karena mereka bilang, Esa terlalu lebay. Aku bingung, mengapa menulis puisi dikatakan lebay? Mana lebih lebay dari mereka yang hanya bisa mengikuti trend kebarat-baratan yang masih meminta uang dari orang tua?

Saat dikatakan lebay oleh teman-temanku, Esa hanya menyengir dan kembali melakukan aktifitasnya.

Esa bukan anak cupu atau sejenisnya. Esa juga termasuk kalangan badboy yang mengeluarkan bajunya saat bel pulang sekolah sudah berbunyi, yang kadang bolos saat pelajaran, yang memakai baju kaos hitam sebagai singlet.

Jangan salah, Esa juga termasuk murid yang cerdas. Terutama sastra, ia ahlinya.

Mungkin aneh jika seorang badboy malah menyukai sastra, tapi begitulah kenyataannya.

Esa, ya, Esa.

Lelaki yang hadir dalam hidupku (re: hatiku) semenjak aku melihatnya di sini, di pinggir pantai dengan desiran angin yang membuatku sedikit menggelinjang.

Aku mengeratkan sweater-ku. Dingin dan akan selalu dingin, apalagi pantai ini bukan destinasi wisata yang ramai.

Hanya ada beberapa wisatawan yang datang ke pantai ini karena belum terlalu populer. Bahkan jumlahnya tak lebih dari jari yang ada di kedua tanganku.

Dingin dan akan selalu dingin.

Sampai seketika dingin itu hilang karena ada seseorang yang duduk di sebelahku sambil memberikan secarik kertas kusam dengan cara menaruhnya di depan kakiku yang sedang bersila di atas batu karang.

Segera, aku membacanya tanpa melihat siapa yang memberi kertas itu kepadaku.

Ciel Sombre;

Ciel SombreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang