P R O L O G

64 8 3
                                    


Pram's Corporation. Sebuah perusahaan besar di bidang properti dan desain yang dibangun oleh keluarga Pratama.

Sudah enam tahun ini, kekuasaan Pram's dipegang oleh generasi ke-3, Axel Nawola Pratama. Dan itu berarti enam tahun pula Pram's Corp. berganti nama menjadi Xellata P & D Corp. setelah hampir jatuh gulung tikar.

Lantai 13, lantai tertinggi di bangunan tersebut sekaligus lantai para petinggi bekerja. Terduduk di kursi kebesarannya, Axel menatap kosong bentangan langit yang disuguhkan dari jendela besar ruangannya. Setelan tuxedo abu-abu dengan dasi hitam membungkus apik tubuh tinggi menjulangnya.

Sudah setengah jam dan ia tak berkutik sedikit pun meski di mejanya menggunung file yang butuh diperiksanya. Tampaknya kejadian kemarin benar-benar menyita konsentrasinya.

Axel yang sekarang dikenal tertutup dan work-a-holic. Menjadi sangat aneh saat melihatnya tampak bersantai seperti ini.

"Pak, Anda sudah ditunggu Pak Fabian di ruang meeting," suara Ayumi, sekertarisnya, terdengar mengalun memasuki gendang telinganya. Seketika ia kembali tersadar memijak bumi.

"Baik, biarkan dia menunggu sebentar lagi," jawabnya acuh.

Sesampainya di ruang meeting ia langsung mendapat tatapan tajam dari seseorang yang duduk di kursi sisi kiri meja yang didesain setengah lingkaran ini.

Tanpa mengacuhkan tatapan itu, ia segera menghampiri kursinya dan langsung mempersilakan sang bawahan memulai presentasinya.

[ ... ]

"Congrats, Xel. Semoga kerja sama kita kali ini kembali sukses dan semakin besar membawa keuntungan bagi kita," ucap Fabian, sahabat sekaligus relasinya di bidang bisnis ini, sembari mengacungkan tangan untuk dijabat.

"Selamat kembali. Tentu kerja sama ini seperti yang sudah-sudah, akan berkembang biak menghasilkan profit yang mengagumkan," balas Axel dengan aura ketegasan yang memancar. Secuil senyum formalitas tersungging di bibir tebal merekah itu. Tangan kanannya pun menyambut jabatan tangan Fabian.

"Hmm.. Ngomong-omong, bisakah kita berbicara sebentar? Ada beberapa hal yang ingin kusampaikan," jawab sang lawan bicara yang tak lain adalah Fabian setelah menguraikan jabatan tangan keduanya.

"Silakan saja."

Axel langsung melangkahkan kaki panjangnya keluar ruang meeting dengan Fabian di belakangnya.

"What's wrong? You look so.. mess," tanya Fabian to-the-point saat mereka sudah terduduk nyaman di sofa ruangan Axel.

"I met her, I think," jawab lelaki yang duduk di balik meja CEO tersebut sembari menatap langit-langit dengan tatapan kosong.

Fabian yang memang sejak tadi penasaran dengan kelakuan sahabatnya yang tak biasa itu pun langsung memperbaiki posisi duduknya. Ya, ia tau apa yang sahabatnya maksudkan. Ohh, bukan apa, tapi siapa.

Fabian Sultan Yudhistira adalah saksi hidup tentang kehidupan seorang Axel yang tidak berjalan mulus itu. Sejak hari itu, banyak liku yang harus dilewati sahabatnya. Dia tahu semua tentang sahabatnya itu, dan dia sangat tau sahabatnya sedang kacau saat ini.

"Wait! Why you say 'think'? Are you sure that is her?" tanya Fabian serius. Karena setahunya sahabatnya itu tak pernah melupakan setiap lekuk tubuhnya, tak se-inch pun.

"Nggak ada sisa tentang dia yang dulu. Sangat banyak perubahan yang dia alami, termasuk kebahagiaan yang memancar dari wajahnya. Hanya satu yang bisa aku kenali, yaitu detak jantungku karena keberadaannya," ungkapnya lesu.

"Oh, come on, dude! Everything has changed! Lagian seharusnya kamu juga senang melihatnya akhirnya berbahagia, right??"

Tanpa menghiraukan perkataan sahabatnya, ia melanjutkan, "Lalu apakah sikapnya padaku akan berubah setelah apa yang kulakukan? Yeah, tentu saja!" kekehnya kosong diiringi senyum pilu. Sungguh, setelah kejadian itu ia sangat jarang menonjolkan ekspresi tertentu. Tak hanya karena kehilangan orang tuanya, ia juga kehilangan mataharinya.

Fabian yang melihat hal tersebut tampak sedikit heran, namun tak menyurutkan kekesalannya terhadap Axel yang tampak begitu bodoh saat ini. Ia pikir sahabatnya yang satu ini memang benar-benar frustasi sekarang.

"Setidaknya aroma kehadirannya menerbitkan sedikit ekspresi di wajah itu," ucap Fabian sendu dalam hati disertai seringai samar.

Fabian berdecak pelan. Merasa bosan dengan sikap sahabatnya itu sejak 10 tahun terakhhir.

"Then, you won't tell me how you met her?" tanya Fabian dengan menatap tajam satu manusia yang asik melamun itu.

[ * * * ]

__________________________

-SEE YOU ON NEXT CHAPTER-

Happy reading ♡

Alrzee

P.s : revisi yak ({})

#18 Mei 2018

TijdmachineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang