C1 - Secercah Harapan Tertimbun Kemarau

206 23 0
                                    

AUTHOR POV

Di suatu sudut kota kecil, hiduplah sebuah keluarga sederhana dengan seorang ibu, ayah, dan dua orang anak mereka. Kedua anak itu bernama Zahra dan Zalfa. Zahra adalah anak tertua dan Zalfa tentu saja yang bungsu. Meskipun mereka bersaudara, tetapi mereka tidak seakur anak-anak lain. Mereka selalu saja bertengkar dan pertengkaran mereka itu hanya karena masalah yang sepele saja. Bu Delia selaku ibu mereka hanya geleng-geleng kepala saja jika ia melihat atau mendengar kedua anaknya itu bertengkar lagi. Bu Delia sudah pusing dan tidak ingin ikut campur lagi dengan urusan kedua anaknya itu. Lagipula mereka juga sudah dewasa, pikirnya. Meski begitu, tidak jarang Bu Delia juga turun tangan untuk melerai mereka apabila pertengkaran mereka sudah mencapai puncak kehebohan.

Dua tahun yang lalu, Zahra telah lulus dari sekolah menengah kejuruan dengan mengambil jurusan administrasi keuangan, tetapi Bu Delia tidak punya banyak uang untuk membiayai pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Ia juga sudah mencoba melamar kerja dimana-mana, tetapi mungkin belum rejeki Zahra untuk diberikan pekerjaan. Sekarang, ia hanya menganggur di rumah.

Tahun ini, Zalfa sudah resmi menjadi siswi kelas sebelas sekolah menengah kejuruan yang telah meluluskan kakaknya dengan mengambil jurusan multimedia. Ya, ia baru saja naik kelas. Sebenarnya Zalfa sangat menyayangi Zahra, tetapi dengan cara menyayangi yang berbeda dari anak-anak bersaudara lainnya. Ia selalu mengejek Zahra sebagai anak pengangguran tak bermutu. Ia melakukan hal itu tidak lain dan tidak bukan adalah agar Zahra termotivasi dari kata-katanya itu untuk segera mendapatkan pekerjaan dan tidak menyerah begitu saja.

***

Pada suatu hari, tepatnya hari senin pagi ketika Zalfa ingin berangkat ke sekolah, ia melihat Zahra masih keasyikan tidur di depan televisi kecil yang berada di ruang keluarga mereka. Zalfa yang jengkel melihat kelakuan kakaknya itu pun mengomel.

"Kak Zahra, bangun dong! Udah jam segini masih enak-enakan tidur. Pantasan aja gak bisa dapat kerjaan, rejekinya dipatukin ayam mulu sih." Gerutu Zalfa.

"Hua..aaa...aaaammmmmm....!!!!!" Zahra hanya menguap sesaat lalu kembali melanjutkan tidurnya.

Merasa tidak dihiraukan, Zalfa segera meninggalkan Zahra dan pergi mencari ibunya untuk meminta uang saku sekalian berpamitan.

"Bu.." Ucap Zalfa setelah mendapati ibunya di dapur. Sebenarnya ia tidak tega terus-terusan meminta uang kepada ibunya karena keluarganya ini bisa dibilang keluarga yang sangat pas-pasan. Ayahnya hanyalah seorang guru honorer di sebuah sekolah dasar dengan upah tujuh ratus ribu rupiah perbulannya, sedangkan ibunya telah sukses menjadi ibu rumah tangga yang baik.

"Minta uang lagi?" Tanya Bu Delia sembari tersenyum.

"I..iya bu, jika ibu ada uang lebih. Jika tidak juga tidak apa-apa." Jawab Zalfa sembari tertunduk malu.

"Ibu tidak pernah keberatan memberikan memberikan uang kepada anaknya. Jangankan uang, nyawa seorang ibu pun pasti rela diberikan untuk anaknya." Bu Delia membelai rambut Zalfa dengan lembut.

Zalfa hanya merespon ucapan ibunya dengan senyuman kikuk.

"Ini uangnya. Uang ini untuk kau pakai sekarang dan besok." Sambung Bu Delia kemudian menyodorkan selembar uang dua puluh ribu.

"Terima kasih, bu! Aku pamit." Zalfa pun menyalami tangan ibunya kemudian berlari ke halaman depan. Ia mengambil satu-satunya sepatu yang ia punya di rak sepatu. Sepatu itulah yang telah menemani perjalanan hidupnya selama empat tahun terakhir ini. Meskipun sepatu itu sudah bolong ujungnya, tetapi ia belum berniat untuk menggantinya dengan yang baru. Selama masih bisa dipakai kenapa harus diganti? Pemborosan, pikirnya. Setelah mengenakan sepatunya, ia meraih sepeda butut yang juga sudah menemaninya selama tujuh tahun. Ia membeli sepeda itu waktu duduk di bangku kelas empat sekolah dasar. Sepeda itu sudah berkali-kali ia perbaiki, tetapi belum pernah ia ganti dengan yang baru.

CERPEN : Secercah Harapan Tertimbun Kemarau [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang