Aisyah menuju Masjid di Rumah Sakit besar itu, setelah mengambil air wudhu, mukena Masjid dipakai lalu sajadah digelarnya. Dalam sujud panjang, Aisyah berdoa memohon pada Allah agar suaminya sembuh. Bulir air matanya jatuh semakin lama semakin deras saat kedua tangannya menengadah ke atas.
Hatinya agak tenang setelah selesai melaksanakan sholat dhuha. Aisyah bergegas menuju ke ruangan tempat Ali dirawat. Ada delapan pasien laki-laki di ruangan itu, hanya gorden putih sebagai pembatasnya.
Ali bekerja sebagai PNS golongan dua di salah satu Dinas Pemerintah. Ali, anak pertama dari sembilan bersaudara. Ayah Ali pedagang kecil, menjual tembakau ke tengkulak yang memasok tembakau ke pabrik-pabrik rokok skala kecil. Ali berusaha membantu orang tuanya dengan membiayai sekolah adik-adiknya, mulai awal bekerja hingga menikah dengan Aisyah.
Aisyah berusaha menerimanya dengan ikhlas, meskipun Aisyah selalu kerepotan mengatur keuangan keluarga kecilnya. Setiap awal bulan, setelah menerima gaji, adik-adiknya datang ke rumah untuk mengambil uang biaya sekolah mereka.
Pernikahan mereka hampir memasuki usia delapan tahun. Begitu banyak gelombang dan badai yang mereka hadapi. Jika mengingat masa lalu Ali, Aisyah tak pernah mengira kalau ia mampu berada di sisi Ali. Semua karena kuasa-Nya. Senang dan sedih dilaluinya.
Ya, Ali adalah cinta pertama bagi Aisyah. Awal bekerja di kota Ponorogo, Ali yang berasal dari kota Jombang, kost di rumah orang tua Aisyah. Dari situlah perkenalan mereka.
Aisyah gadis pendiam, kulitnya kuning langsat, rambut panjangnya sering diikat seperti ekor kuda. Meski wajahnya tidak secantik teman-teman perempuan Ali yang sering main ke kost. Namun, wajah polosnya mampu memikat Ali.
Ali, pemuda dengan tinggi badan yang standar seperti pria pada umumnya. Kumis tipis, hidung yang cukup mancung dan sorot mata yang teduh seakan menjadi magnet bagi perempuan untuk mengenalnya lebih jauh. Sikap sopan dan perhatiannya mampu menaklukan banyak hati. Entahlah, sudah berapa hati yang berhasil Ali taklukan dengan senyum manisnya.
Aisyah berjalan pelan menuju ruangan tempat Ali dirawat. Dilihatnya Ali yang masih tertidur lelap. Badan Ali sekarang semakin kurus, hanya perutnya yang terlihat membesar dan keras. Wajah teduh Ali semakin hari semakin tirus, selang oksigen cukup membantunya untuk bernafas. Bibirnya terlihat kering, dada bidang Ali, tempat Aisyah biasanya bersandar hanya tinggal tulang terbungkus kulit.
Aisyah menitikkan air matanya, lalu dia duduk di kursi dekat tempat tidur Ali. "Tidurlah yang nyenyak," bisik Aisyah. "Aku tak bisa dan tak mau membayangkan hidupku, hidup anak-anak kita nantinya tanpamu. Sungguh, sepertinya baru kemarin, Allah mengisi lembaran hari-hari indahku bersamamu. Baru kurasakan dekapan, belaian seorang pria dewasa yang tak pernah kurasakan sebelumnya, bahkan dari Ayah kandungku sendiri," lanjut Aisyah sambil terisak.
Susah payah Aisyah menahan isakan tangisnya. Namun, Ali seperti merasakan kehadiran Aisyah. Pelan-pelan matanya terbuka, Ali tersenyum melihat Aisyah di sampingnya. Aisyah buru-buru berpaling, dia sibuk mengelap air matanya agar tak terlihat menangis di depan Ali.
"Tadi Ahmad pamit mau mandi dan sholat dhuha dulu," ucap Ali pelan. Ahmad adalah adik kandung Ali yang ikut menjaga Ali selama dirawat di Rumah Sakit. "Iya. Alhamdulillah Mas Ali sudah bisa tidur nyenyak ya, bagaimana sudah mendingan rasa sakitnya kan? " tanya Aisyah, sambil menggenggam tangan kanan Ali.
"Alhamdulillah, bagaimana keadaanmu dan calon bayi kita?" tanya Ali sambil mengelus perut Aisyah yang semakin besar. "Tadi malam kamu bisa tidur kan?" lanjut Ali. Aisyah hanya bisa menjawab "Alhamdulillah," sambil tersenyum, berusaha sekuat tenaga agar air matanya tidak jatuh lagi. Aisyah tak ingin Ali melihatnya bersedih.
"Syukurlah, sebenarnya aku ingin menyampaikan permohonan maafku," ucap Ali sambil matanya melihat langit-langit. "Maafkan aku yang belum bisa membuatmu dan anak kita bahagia, justru aku memberikan kepedihan dan air mata di sepanjang pernikahan kita," lanjut Ali sambil meneteskan air mata.
"Mas ini ngomong apa sih? Banyak sekali kebahagiaan yang telah diberikan Mas selama ini. Mas Ali telah memilihku, perempuan desa yang lugu dan bodoh diantara deretan teman-teman Mas Ali yang cantik, pintar dan modis. Mas Ali yang telah memberiku kesempatan untuk menjadi ibu dari anak-anakmu," jawab Aisyah, sambil duduk mendekati wajah Ali.
Diusapnya air mata di wajah teduh Mas Ali. "Kamu hanya menghiburku Aisyah, justru kamulah yang memberiku kebahagiaan. Kamu selalu mendampingiku, setia menemani, padahal kamu sendiri butuh istirahat karena sedang hamil dan anak kita butuh belaian kasih sayangmu," jawab Ali sambil mengatur nafasnya.
"Aku kangen Fatimah, sudah lama aku tidak melihat keceriaannya. Aku ingin menggendongnya seperti saat dia bayi dulu. Tapi rasanya tidak mungkin bisa lagi, untuk bangun dari tempat tidur saja aku tak mampu," lanjut Ali sambil menangis. Fatimah adalah putri pertama mereka. Sekarang usianya enam tahun lebih empat bulan. Fatimah dekat dengan Ali, mereka berdua sering menghabiskan waktu bersama dengan bercanda dan jalan-jalan di sekitar Rumah Dinas yang ditempati Ali.
Jika bercanda, Fatimah paling suka bermain kumis tipis Ayahnya, lalu Ali akan memeluk tubuh mungil Fatimah, membelai rambut panjangnya dan mengecup keningnya. Fatimah, anak yang manis, dia suka membaca, sekarang duduk di kelas 1 Sekolah Dasar Negeri di dekat rumah.
Ali terakhir bertemu Fatimah seminggu yang lalu saat masih dirawat di RSUD Jombang. Semenjak dirujuk di Rumah Sakit Umum Dr.Soetomo Surabaya, tiga hari yang lalu, Ali tak pernah bertemu Fatimah. Fatimah dititipkan di tetangga Ali.
Rumah Dinas Pemerintah yang hanya ada lima, dihuni oleh karyawan Dinas dn keluarganya. Mereka berlima sudah seperti keluarga. Oleh karena itu, Ali dan Aisyah menitipkan Fatimah di rumah salah satu tetangganya.
"Mas Ali akan kuat menggendong Fatimah dan adiknya, Insyaa Allah kalau sudah sehat ya," hibur Aisyah sambil membelai rambut Ali. Ditatapnya mata lelaki berumur 32 tahun itu, sorot matanya kosong, tak ada semangat lagi untuk sembuh. Mungkinkah Mas Ali sudah lelah dengan penderitaan akibat penyakitnya, gumam Aisyah. Tidak, Mas Ali tidak boleh menyerah, biarlah Dokter bilang apa tentang penyakit dan umurnya, bukankah kematian hanya di tangan Allah, ucap Aisyah di dalam hati.
"Entahlah, semakin lama rasanya aku semakin lelah menghadapi penyakit ini. Mungkin Allah memberi hukuman kepadaku di dunia atas segala dosaku yang telah lalu," ucap Ali lirih sambil terisak. "Dosa-dosa yang dulu kulakukan sebelum bertemu denganmu terlalu banyak, seperti buih. Tak kusangka, Allah menghukumku setelah pernikahan kita hingga kamu pun ikut menanggungnya. Maafkan aku Aisyah, maafkan aku, sepeninggalku nantinya, jemputlah kebahagiaanmu, aku titip anak-anakku, bimbing dan didiklah mereka ilmu agama agar menjadi anak sholih. Ceritakanlah tentang aku, Ayah mereka yang tak bisa lagi menemani mereka bermain, belajar, sholat. Maafkan aku, Aisyah, yang tak bisa menemanimu mendidik mereka."
Aisyah tak bisa menahan air matanya jatuh, dipegangnya erat tangan Ali. Dibiarkannya Ali menyelesaikan kalimatnya."Jika sepeninggalku, ada laki-laki yang baik, yang bisa menjadi suami dan Ayah sholih untuk anak-anakku, terimalah dia. Semoga kebahagiaan datang kepadamu, Aisyah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Asa untuk Aisyah
SpiritualEntah berapa lama lagi kesedihan Aisyah itu akan pergi. Air mata seolah tak pernah kering membasahi pipinya. Suami yang menjadi kekasih pertamanya telah dipanggilNya, meninggalkan seorang anak berumur 6 tahun dan bayi yang di kandungan. Bagaimana Ai...