Malam ini dingin, dan aku memilih lagu 'Inner Demons-Julia Brennan' untuk memelukku dengan liriknya. Aku terbaring lelah dengan Ipod di genggamanku. Ada yang tak biasa dari pikiranku ini. Ada satu tatap yang meleburkan beku dinding hatiku. Mata indah itu, mata yang harus bertanggung jawab atas tidak tidurnya aku malam ini. Mata pertama yang mampu ku tatap tanpa takut. Sebelumnya, perkenalkan namaku Sarah. Aku seorang remaja biasa. Remaja yang mereka bilang, aneh. Pecinta kopi dan sepi. Penikmat musik indie dan pengejar Senja sebelum malam tiba. Aku benci ramai, aku benci saat dimana manusia harus berinteraksi. Dunia menolak kehadiranku, dan aku tak pernah memilih untuk hadir.
Empat tahun lalu, aku didiagnosa mengalami Social Anxiety Disorder. Dari kecil, aku tak pernah tinggal menetap di satu daerah. Ayahku adalah perwira TNI. Hampir sepuluh dari keseluruhan provinsi di Indonesia telah kutinggali. Awalnya, aku terbiasa saja dengan semuanya. Hingga hari itu, aku benci bersosialisasi. Saat itu, satu pesta yang biru. Berakhir jadi gaduh karna teriakku yang terus menggebu.
"tolong! siapapun tolonglah aku!"
Aku merasakan dorongan dahsyat yang dengan hebatnya menjatuhkanku ke air yang dingin. Tulangku berdesir, seketika ia membeku. Ku angkat kedua tanganku, berteriak dahsyat namun nyatanya senyap yang mereka dengar. Entahlah, apakah teriakanku yang terdengar bisu, ataukah sikap mereka yang membatu. Aku melihat manusia, tapi tidak dengan kemanusiaan.
"Siapapun jangan ada yang tolongin dia atau kalian semua berurusan sama gua!"
Lima menit yang lalu. Andini. Begitu bencinya ia padaku hingga berbuat seperti itu. Alasannya sangatlah sederhana.
"lo pinter, Dimas suka sama lo dan dia ngejauh dari gua, sadar ga sih anak baru, semenjak ada lu disini hidup gue hancur. Predikat gue sebagai bintang sekolah harus jatuh ke lu. Gue ga ikhlas"
teriaknya sambil mendorongkuke kolam renang di pesta ulang tahunnya sendiri. dan sejak saat itu, aku benci pesta. Aku benci dunia, dan aku benci diriku sendiri.
Aku memutuskan untuk tetap tinggal di Jakarta dan bersekolah di rumah. Bersama Bi Inah, pembantu rumah tangga yang setia menemaniku. Aku tak pernah keluar dari rumah. Ku anggap boneka, laptop dan kopi adalah teman sejati. Tiap petang tiba, aku duduk di balkon depan rumahku. Menarik nafas pelan, dan melihat sekeliling. Jingga, indah, dan berwarna. Senja adalah diriku sendiri. Bisakah kau bayangkan betapa sepi hidupku ini? Namun, aku percaya. Selalu ada makna dibalik segala peristiwa. Berkat sepi dan senja. Aku membuat beberapa puisi dan menerbitkannya di blogku yang bernama sarahandmade.com
Tak jarang, beberapa penerbit mengirim e-mail dan memintaku bekerja sama untuk menerbitkan antologi puisiku. Semuanya ku tolak, aku menulis untuk bercerita, bukan untuk mengambil untung dari derita.
Namun berkat blog itulah, aku menemukannya. Menemukan mata yang harus bertanggung jawab. Ia adalah Andri. Tinggi, tegap, dan berdandan rapi. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun ini, aku mampu bersosialisasi lagi. Awalnya, kita hanya bersosialisasi melalui e-mail atau LINE saja. Namun hari ini beda, Ia mengajakku ke satu tempat yang tak biasa. Satu tempat sederhana yang dapat membuatku merasakan hangatnya senja. Ia telah mendekorasi tempt tersebut menjadi sangat indah.
Sudah dari pukul 15.00 aku menunggunya. Andri tak datang juga. Aku berjalan pelan dan menangis, aku kecewa. Hatiku hancur dan berantakan. Hingga ada satu notifikasi hadir di ponselku.
"Lihat, kau memang tidak pernah teliti." ketiknya.
"apa maumu? Aku telah lama menunggu." balasku.
"ada kotak di meja itu, ambilah itu untukmu. Nikmatilah dahulu senjamu sendiri, ada kejutan lain yang akan ku berikan padamu." dan perbincangan kita berakhir.
Aku membuka kotak itu. Ada sepucuk kartas bertuliskan
Untukmu Sarah, Kau suka kejutanku? Besok datanglah ke Jl.Mataram no.72. Datanglah ketika mentari ingin meninggalkan langit.
-Andri
keesokan harinya aku datang ke tempat itu. Sepi, tak ada lagi dekorasi indah. Aku tanya melihat tempat peristirahatan.
"Kamu Sarah bukan? Kenalin, aku Delima. Ayo Ikut aku." sapa seorang perempuan Cantik itu.
aku melihat Batu nisan bertuliskan 'Andri Yudhistira Bin Rahmad Izhar'
"Maksudnya gimana kak?" tanyaku lirih.
"bacalah surat ini sar. Biar engkau mengerti"
Jakarta, 25 Juli 2015
Teruntuk kamu, Cinta dalam diamku. Maafkan aku, lelaki lemah tak berdaya yang bahkan diakhir hidupnya, tak sempat menyatakan rasa. Kau ingat pertemuan kita di rumah sakit?Saat aku berusaha menatap mata sayumu dengan lembut. Aku tau, kau tersiksa. Aku juga merasakannya. Sebenarnya, aku ingin mengenalmu lebih awal dan bersamamu lebih lama.Namun, kau tahu satu hal bukan? Dunia tak cukup tega membiarkanku tinggal didalamnya. Aku sedang melihatmu dari atas sini, dari langit senja yang jingga dan candu. Aku menyukaimu saat tatap pertama kita bertemu. Saat engkau dirumah sakit karna ingin bertemu ahli jiwa, dan saat aku sedang berusaha melawan leukemia. Line pertama dariku, itu adalah pesan pertama yang ku ketik dengan rasa cinta. Namun, tubuhku tak mampu lagi. Maafkan aku yang dengan tega mengusung semua skenario ini. Percayalah satu hal, sayangku. Kau akan lebih baik. Jangan menyerah atas hidupmu. Dan inilah, seperti yang ku janjikan, Senja pertama dan terakhir kita.
-Andri Yudhistira
"Maafkan aku Sarah." Ujar delima
"aku mengerti kak, terima kasih." ucapku haru dan prei meninggalkan makam itu
Aku tak mampu lagi Andri, kau buat jiwaku terluka untuk yang kedua kali. Biarkan aku, perempuan yang tak pandai mencintai ini bertemu denganmu. Lagipula ini tak sakit, aku terbiasa melakukannya. Andri, sayangku. Tunggulah aku. Kita akan melihat langit senja bersama.
"Satu..."
"Mbak! itu tinggi jangan aneh-aneh!"
"Mbak kasian keluarga mbak kalau mbak kaya gini"
Ramai sekali, ternyata mereka cukup peduli.
"dua..."
"Andri? Itu engkau bukan? Kenapa hanya tersenyum?"
"Andri jangan berlari!!"
Dan aku berhasil menangkapnya, memeluknya dari belakang dalam dekapan senja di ruangan putih nan bersih. Aku telah bertemu Andriku. Walau harus pergi meninggalkan duniaku.
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
SENJA TERAKHIR KITA
RomanceTentang Senja di hari itu, tentang kita yang tak lagi menyatu.