BADAI 1

78 5 0
                                    

🍃🍃🍃

Assalamualaikum, the readers
Cuma mau bilang kalau cerita ini, cerita yg pernah aku publish dengan judul Feeling syndrome. Tapi aku tarik lagi and revisi, rombak abis isi cerita, biar ga terlalu drama. Sebelumnya lagi sorry2 to say yes. Kalau plot sama alurnya terlalu ngebosenin,, jujur ini cerita pertama yg aku publish di wattpad ... Happy reading yah..

....

***
Mungkin kita bisa menjerit di dalam hati, karena perihnya sebuah luka. Tapi kita masih bisa tersenyum di depan mereka seolah tak terjadi apa-apa
__________

London, Musim dingin

Tidak ada yang istimewa, hanya jalanan aspal yang licin akibat terkena air hujan diiringi butiran salju yang turun semalaman suntuk dan ranting-ranting pohon cemara yang ikut menggigil di hari pertama musim dingin. Para tupai masih enggan beranjak dari sarangnya di cuaca yang membekukan tulang seperti ini, apalagi manusia, mereka masih meringkuk nyaman di balik selimut tebal dengan AC panas yang dinyalakan sepanjang hari tanpa berpikir atau berniat untuk melakukan lari pagi di luar rumah seperti kemarin pagi. Awan pekat menggumpal di langit dan berhasil menghalangi sinar matahari untuk menyusup.

Seorang gadis memandang datar wajahnya di cermin, dia tidak sedang bahagia sepertinya, tidak juga sedang sedih, tapi air wajahnya tanpa ekspresi. Terdapat luka lebam di pipi kirinya, tidak terlalu kenTara jika dilihat dari jarak yang cukup jauh.

"Wahh, cantik banget anak mama yang satu ini. Mantelnya sangat cocok.." Suara berbinar seorang wanita yang menyembul dari balik pintu membuat gadis itu segera mengalihkan pandangannya dari cermin, menatap wanita itu dengan... datar..

"Aku kan udah pakai ini empat kali. Berhenti memuji, Ma. Mama gak akan buat aku pingsan di tempat lagi kan?" Nada gadis itu sangat tenang, namun dari kata-katanya ia memberikan sedikit peringatan kepada wanita itu.

"Oke, baiklah.. Mama gak akan mengganggumu dandan lagi." Wanita itu menutup pintu dengan perlahan. Namun,ia tiba-tiba membukanya lagi "Oh. dear, jangan lupa hari ini kita harus menemui dokter Steve. Ini hari terakhir kamu check-up sebelum pulang ke Indonesia." Tanpa mempedulikan apakah putrinya akan membalas ucapannya itu, ia kembali menutup pintu dan pergi.

"Hhh.. Oke.." Desah gadis itu pasrah. Menatap gundah ke arah pintu kamarnya yang perlahan ditutup dari luar.

*

Cataplexy, penyakit inilah yang mewarnai hari-hari gadis berusia 16 tahun ini. Tidak berbahaya sih, tapi bisa saja berbahaya jika ia pingsan di tempat yang tidak aman. Penyakit ini merupakan efek samping dari sebuah kecelakaan lalu lintas yang ia alami 7 tahun lalu, gadis itu mengalami benturan keras di bagian kepalanya. Mama sangat khawatir, dia jadi overprotective. Semuanya bermula saat gadis itu menonton film melankolis yang membuatnya baper tak berujung di bioskop. Tubuhnya lumpuh dan limbun ketika keluar dari bioskop. Yang parah lagi saat ia tiba-tiba pingsan di ruang TV sehabis menonton Stand Up Comedy yang ditayangkan setiap akhir pekan, membuatnya tertawa terbahak-bahak hingga ia kehilangan kesadaran hampir 2 jam lamanya. Mungkin ia bisa pingsan dan tertidur sebanyak 10 kali sehari. Luar biasa bukan?!

Ia menolak ajakan teman untuk menonton film terbaru, ia juga jadi kudet tentang aktor tampan terpopuler yang sedang hits di ranah hiburan ke-artisan. Pokoknya ia benar-benar ketinggalan jauh deh. Melani sudah kehilangan sebagian haknya menjadi anak muda yang bebas, bebas mengekspresikan perasaannya.
Meskipun begitu ia juga rutin berkonsultasi dengan Dokter Steve Reading, seorang spesialis neurolog yang paling handal di London. Meski tajir dan handal, dokter itu mengatakan jika penyakit ini tidak ada obatnya, dia hanya mengatakan kepada Melani untuk menghindari tertawa. Oh God, itulah satu-satunya kata-kata seorang dokter yang sangat tidak memotivasi sang pasien untuk sembuh. Jadi pasrahkan saja semuanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Melankolis (The Syndrome) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang