BADAI 2

44 4 3
                                    

Awas muntah baca part ini.. 😅 jangan lupa vote dan komennya, biar semangat ngetiknya nihh..

*****
...
Cinta tak pernah datang terlambat. Kita hanya terlalu cepat merasakan cinta, atau kita yang terlambat menyadari bahwa itu benar cinta.

*
Suasana di ruang pertemuan itu sudah mirip kuburan meskipun ada empat orang di dalamnya , mereka memilih untuk diam dan menunggu. Sekali-sekali kalau tatapan mereka kebetulan bertemu, mereka akan tersenyum kaku satu sama lain, sebelum kemudian menunduk atau melihat kearah lain.

"Mm.. Jadi bagaimana penerbanganmu, Melan. Apakah menyenangkan?" Seorang lelaki berumur yang memiliki wajah tegas dengan kumis yang menghias di atas bibirnya, mencoba untuk membuka suara, memecah keheningan yang sempat membekukan suasana.

Gadis yang merasa namanya disebut tersenyum kaku. "Of course.. sangat-sangat menyenangkan.-" Ia menjawab seikhlas mungkin, lalu kembali terdiam, lantas melipat kedua tangannya. Sedikit melirik ke arah seorang lelaki muda yang duduk di hadapannya. Terlihat pula jika lelaki muda itu mencuri pandangan kepadanya. Oh dasar cowok menyebalkan.

"Ternyata Leon lebih tampan daripada di foto ya." Metha ikut berbicara, ia tersenyum ramah, suasananya sedikit demi sedikit mencair.

Leon membalas dengan senyuman. Ia tak suka dengan basa-basi, tapi tidak untuk saat ini, karena sedang malas untuk mencari masalah jadi ia harus bersikap senormal mungkin, meskipun hal ini tak normal baginya.

"Mungkin Melan, kecapekan ya. Omongnya irit begitu.", dengan senyum tipis dan hangat, Dirga masih mencoba membuat Melan nyaman dengan kehadirannya. Sebentar lagi kan mereka menjadi keluarga.

Melani hanya menggeleng malas, sesekali menyesap jus jeruk.

"Menurut Om, Melani sekolah saja di sekolahnya Ale. Kebetulan kan bulan depan pendaftaran siswa baru dimulai. Gimana? hitung-hitung kalau berangkat bisa bareng."

Mendengar itu, Leon mendelik tak suka. Bisa saja, kalau Melani di sekolah yang sama dengannya bakal disuruh papa jadi mata-matanya, bisa saja kan. Dilihat dari sikap papanya yang otoriter, ingin namanya bersih dan tetap perfeksionis di mata orang-orang, menyebabkan Leon mau tidak mau terseret juga, harus jaga sikaplah kalau diluar, dari nilai sampai tetek bengeknya harus diatur olehnya.

"Melan, nggak keberatan, kalau mama juga setuju," gadis itu menatap mamanya yang tersenyum lalu mengangguk. Lalu melahap sepotong kentang goreng dan dikunyahnya dengan khidmat, tak sadar jika Leon menatapnya tak suka.

"Tapi seenggaknya papa biarin dia pilih sekolah yang lain, 'kan? Dia belum jadi keluarga kita, papa udah mulai atur-atur aja hidupnya.." , ucapan Leon barusan mendapat tatapan horor Dirga dan senyuman tipis dari Metha, sedangkan Melani, ah gadis itu terlalu menikmati makanannya, dia tak menoleh sedikitpun ke arah Leon, yang notabene jadi pusat perhatian detik itu.

Dengan senyuman hangat, Metha menginterupsi, "Melani pasti suka itu Leon, ada yang jaga dia di sekolah. Tante juga pastinya akan sedikit terbantu dengan itu, soalnya Melani sedikit berbeda dari yang lain dan butuh perhatian lebih."
Melani memelankan kunyahan kentang goreng di dalam mulutnya, dan mendengus halus.

"fine.." Balas Leon tak suka tapi masih menjaga nada bicaranya agar terdengar lebih sopan, mencoba menikmati makanannya yang sedikitpun belum ia sentuh, selera makannya sedang menurun.

Metha dan Dirga sedang sibuk dengan fokus pembicaraan mereka. Sesekali mereka tertawa dan terlihat sangat menyenangkan. Lantas bagaimana dengan keadaan dua makhluk yang sedari tadi hanya melipat wajah mereka. Kalut dengan perasaan kesal masing-masing, dan hanya saling bertukar pandang, seakan mereka sedang melakukan telepati untuk menghardik satu sama lain.

Melankolis (The Syndrome) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang