Bagian Tiga

190 30 14
                                    


"Kemarin kenapa tidak masuk?"

Begitu aku masuk kelas, Sana yang duduk disebelahku langsung menatapku dengan tajam.

Kutaruh tasku di meja dan kutatap Sana. "Aku kemarin sakit mata."

"Ckckck." Sana menggeleng-gelenkan kepalanya sambil berdecak. "Kamu itu nggak jago bohong. Bilang saja semalam menangisi Jaehyunmu itu—Aduh!"

Kupukul saja kepala Sana keras-keras. "Bodoh! Jangan bicara keras-keras." Aku melotot dan Sana balas memelototiku. "Enak saja. Aku kemarin menangis gara-gara ingat ayah dan ibuku. Kalau ingat, makam orangtuaku itu ada di dekat makam Jennie."

"Oh! Ya ampun! Aku baru ingat!"

Bukannya minta maaf Sana malah memukulku. Apa-apaan sih anak ini? "Harusnya kemarin aku diajak ke makam orangtuamu. Aku kan ingin juga ziarah kesana."

Kupegang pundak Sana dan menepuknya. "Oke, kapan-kapan ya. Nanti kalau suasana hatiku sudah baik. Kemarin aku sudah kesana dan aku menangis sampai malam disana. Sekarang aku sudah sedikit lega, lah setidaknya unek-unekku sudah kubuang semuanya. Hehehe." Aku tersenyum lebar. Bukan senyum yang kupaksakan. Ini adalah senyum yang biasanya kuberikan pada Sana. Tulus dan asli, tidak ada kepura-puraan sama sekali.

Kulihat Sana juga tersenyum lebar. Ia berdiri dan memelukku. "Ocucucu, Minaku sayangku. Kapan-kapan ayo kita ziarah sama-sama. Mulai sekarang, lupakan dia, ya? Ayo mulai hidup baru. Bisa? Ah pasti bisa!"

Aku mengangguk. Walaupun di hati masih sangsi.

-----

Seperti dugaanku semua orang membicarakan tentang Jennie. Aku tidak ikut gabung tapi aku hanya mendengarkan. Mendengarkan dari sudut terjauh karena aku masih belum bisa berhenti memikirkannya.

Aku ini aneh. Padahal aku sama sekali tidak punya hubungan sama sekali dengan hal ini tapi aku amat sangat merasa bersalah.

Entahlah.

"Kau tadi lihat Jaehyun?"

Reflek kepalaku langsung menoleh begitu mendengar namanya disebutkan. Ada apa?

"Jaehyun benar-benar kusut, berantakan. Kau tidak lihat, dari tadi pagi ia terus-terusan duduk di bawah pohon besar di sebelah sana? Aku tadi hanya melihatnya saat pagi. Tapi kata anak-anak posisi duduk Jaehyun tidak berubah. Kau tahu, pohon itu kan tempat favorit Jaehyun dan Jennie."

Oh? Iyakah?

Tidak tahu kenapa tapi kakiku langsung bergerak keluar. Tiba-tiba aku ingin pergi kesana, pergi ke tempat Jaehyun duduk. Hanya memastikan saja.

Benar saja. Jaehyun duduk disana, menyandar ke pohon sambil menutupkan matanya. Entah dia tidur atau apa.

Aku melangkah maju. Niatku berubah. Yang tadinya hanya ingin melihat dari jauh menjadi melihatnya dari dekat, sebisa mungkin aku akan berada di dekatnya dan mengajaknya bicara.

Yang kuketahui, orang semacam itu—yang bersedih karena ditinggal pergi orang yang dicintainya—tidak boleh dibiarkan seperti itu. Aku belajar dari pengalaman. Kakak perempuanku yang berusia 16 saat orangtuaku meninggal, andai saja tidak didekati oleh kedua kakakku, tidak diajak bicara, pasti dia pasti sudah gila. Meskipun mereka butuh sendirian, tapi aku percaya bahwa berbicara adalah jalan terbaik untuk menyalurkan emosinya.

Kuberanikan diri melangkah mendekatinya. Semakin mendekat semakin kuat pula aura kesedihan dan keterpurukan di sekitarnya.

"Jaehyun..." ucapku pelan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 15, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Loving YouWhere stories live. Discover now