Pulang

30 3 2
                                    



Kepalaku pusing tak keruan. Penuh pikiran yang saling berteriak. Degup jantungku semakin cepat seakan habis berlari marathon. Aku tak bisa tenang sekalipun duduk di kursi. Nafas yang coba kuatur tak berarti apa-apa. Kejadian yang baru saja kualami terus berputar di ingatanku, memperburuk keadaan.

Ah, sial. Kepalaku tak bisa bersandar di kursi. Kursi sepundak yang sangat menjengkelkan. Orang-orang di sampingku tertawa begitu keras. Telingaku sampai pekak mendengarnya. Kabin ini semakin penuh sesak dengan manusia, namun itu tak menghentikan tawa mereka. Suara iklan di layar menambah bising suasana kabin. Panas tubuh dan bau nafas memenuhi ruang kabin. Penyejuk udara dan pengharum ruangan tak mampu menghilangkannya.

Ponsel di saku jaketku bergetar.

Syukurlah, dia masih ingin bertemu. Dia, temanku yang pertama kali kukenal di kota ini, semoga bukan yang terakhir. Yang pasti dialah yang paling bisa kupercaya.

Oke, cobalah untuk terlelap, gumamku memerintah pikiran. Aku mulai menutup mata. Layar hitam kini memenuhi mataku. Sekelebat memori terproyeksi di layar mataku. Memori-memori menyenangkan membuatku sedikit rileks.

Ugh, mataku terbuka secara mendadak. Aku tersentak tanpa sebab. Orang-orang masih sibuk dengan urusannya. Tak ada yang menyadari apa yang kulakukan. Oke, sepertinya sudah sampai, gumamku agar tetap tenang.

Aku turun dengan perasaan hampa. Setidaknya kegusaranku sudah mereda. Diriku masih mematung, menatap jauh ke seberang. Kendaraan yang berlalu-lalang merintangi pandangan. Tangga dan gerbang kedai menyambut di hadapan. Aku mulai melangkahkan kaki, menyeberang jalan dengan ragu-ragu. Klakson saling bersahutan saat aku berusaha mencapai sisi lain jalanan. Pikiranku kembali berkecamuk menghujat ketidakmampuanku. Aku meniti setiap anak tangga di depan mata. Mencari nomor meja yang tepat diduduki sang handai taulan.

Diam. Cobalah untuk tenang. Aku menarik nafas, lalu menghembuskannya perlahan. Mencoba menahan tangis mendengar bisikan-bisikan yang membising di kepalaku. Mereka tak bisa diam walau aku tak melawan. Aku akhirnya terduduk lemas di meja paling sudut. Temanku sama sekali tak bisa kutemukan di tengah kepayahan pikiranku ini. Kini, aku menatap dinding penuh tipografi ala kedai yang sama sekali tak membantu mengurangi kekalutan. Kepalaku bersandar di tangan untuk mengurangi rasa pusing yang kurasakan.

"Hei," sapa seseorang menepuk pelan bahuku. "Apa kau baik-baik saja?"

Aku memalingkan kepala dan mencoba memperbaiki caraku duduk. "Ah, ya aku tidak apa-apa. Aku sedang menunggu seseorang. Aku memang cukup benci menunggu."

"Oh, mungkin anda butuh memesan sesuatu?"

"Oh tidak-tidak, aku akan menunggu temanku sejenak," Jawabku pada pelayan yang memerhatikan diriku sedang tak keruan. Pelayan itu mendekap sebuah nampan coklat, kertas, lengkap dengan pulpen untuk mencatat pesanan pelanggan kedai.

"Jika kau butuh sesuatu, kau bisa panggil aku di bar sebelah sana," Tangannya menunjuk meja panjang yang menghadap dapur di seberang sekelompok meja bulat yang penuh dengan manusia. "Oke?" Sang pelayan tersenyum. Aku memaksakan wajah yang masih kaku ini untuk membalas senyumannya. Pelayan itu kembali membawa barang-barangnya ke bar. Aku bergumam memuji tulusnya senyum sang pelayan. Setidaknya itu sedikit meredakan kekacauan dalam pikiranku. Aku kembali menatap dinding.

Sesaat kemudian, ada lagi yang menepukku. Dialah orang yang kunantikan. "Hei! Aku tadi menunggu di depan. Sepertinya kau tak lihat. Jadi, sekalian saja aku pindah mencarimu," serunya sambil membawa secangkir kopi Gayo yang sudah tak mengepul. Ia duduk tepat di depanku, menggantikan tipografi dinding yang tak jelas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang