Reason To Stay: Blame

1.8K 548 105
                                    

"Nak, tolong goreng pastelnya."

Suara gorengan pastel yang berenang di minyak panas setara dengan panasnya hati pemuda yang menggorengnya.

Sejak tragedi ia tertangkap merokok di warung Bu Oom, kerjaannya di rumah semakin banyak. Sekarang ia harus bangun sebelum adzan subuh untuk mempersiapkan adonan bolu untuk katering sementara mamanya menguleni adonan donat. Kemudian seusai shalat subuh ia harus mengukusnya dan menumis isian pastel, menggoreng risol, dan membuat paket sesuai pesanan.

Begitu setiap hari. Sepuluh hari lalu, saat mama memberhentikannya sekolah ia kira tinggal di rumah sangatlah enak. Bisa ongkang-ongkang kaki, nonton tv, dan santai tanpa harus mendengar ocehan gurunya.

Nyatanya tidak.

"Ma, kenapa sih Javin harus berhenti sekolah?" tanya Javin untuk kesekian kalinya.

"Ya, gampang contohnya. Perilaku kamu di warung itu emang mencerminkan anak sekolah?" balas mamanya.

"Ya, nggak sih."

"Tuh, nyadar."

"Ma, tapi itu karena teman-teman aku kayak gitu. Aku janji deh ma, kalau izinkan aku sekolah lagi nggak bakalan kayak gitu lagi." Javin memohon-mohon pada Mama.

"Tapi kamu kan bukan temanmu. Nggak akan mama kasih kamu sekolah dulu. Mama nggak butuh janji, butuhnya bukti." Mama Javin mengambil sutil di kompor dan membalik pastel yang Javin tinggalkan.

"Ih, mama kok nggak percaya sama janji anaknya?"

"Bukan nggak percaya, mama hanya butuh waktu dan bukti. Lagipula, uang sekolah kamu kalau jadi bahan kue bisa buat stok beberapa hari."

"Oke, mama butuh bukti kayak apa?"

"Rahasia, dong. Kalau bilang-bilang nanti kamu malah pencitraan, terus ngerokok lagi, terus main sama berandal itu lagi."

"Ah, mama nggak seru!"

.....

Semua mata tertuju pada Javin saat ia melangkah di koridor sekolah tanpa seragam dan membawa setumpuk kotak kue untuk rapat guru. Di belakangnya mama mengikuti.

"Cie, Javin bolos seminggu jadi tukang kue nih?" canda Inara dengan nada cemooh.

Javin hanya bisa melirik Inara sesaat dan menunduk malu. Rasanya jackpot saat ia harus mengantar kue ke tempat "terlarang" berikut bonus dipergoki perempuan yang ia sukai.

"Cie, Kue-kueee!" seru Inara lagi.

Beberapa meter kemudian, ia bertemu teman nongkrongnya di warung bu Oom nyatanya tidak semua menyapanya, beberapa hanya menganggapnya angin lalu.

.....

"Mama sengaja ya nerima pesanan ke sekolah dan bikin aku malu?" omel Javin pada mamanya padahal belum semenit ia mendarat di mobil.

"Maksud kamu gimana? Sekolahmu dulu kan memang pelanggan setia katering mama. Kemudian, apa kamu bilang tadi? Kamu malu?" omel mamanya balik.

"Kue-kue ini," mama Javin menunjuk box kuenya "bisa bikin kamu sekolah, nak. Mikir apa kamu bilang kalau malu? Emangnya mama ini koruptor terus kamu bisa malu?" ujar beliau sambil menunjuk-nunjuk Javin.

"Bapakmu itu yang profesinya di tambang laut, pulang tiap bulan aja belum tentu. Butir keringatnya saja mungkin sebanyak air laut. Uang dari bapakmu itu, kujadikan kue biar bisa jadi berlipat kalinya. Semua kami lakukan demi kamu hidup lebih baik. Mana ada orang tua cita-cita anaknya hidup di bawah garis kemiskinan?
Nauzubillah, nak.

Mama sebenarnya nggak mau bicara begini. Namun, kamu sudah keterlaluan. Apalagi sekarang siang-siang, orang lagi lelah malah kamu pancing."

Javin tertegun mendengar penjelasan mamanya.

"Ma, maaf."

"Mama nggak butuh maaf, sejak kemarin mama cuma butuh bukti. Kalau memang kamu malu sama kerjaan mama, lantas mengapa kamu bakar uang yang membuatmu malu itu jadi rokok?"

Kini Javin sadar sepertinya ini memang salahnya.

Mama Told Me To Stay At HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang