Bagian samping dahi yang bersandar pada kaca jendela kereta api meninggalkan bekas wajah dari sisa sisa keringat, pandangan yang terlihat dari dalam kabin kereta seolah seperti halaman-halaman buku yang dibuka dengan ibu jari, samar namun tetap penuh seperti kumpulan ingatan yang berkecamuk dalam pikiran. Pikiran menjadi lamunan yang menyinggung memori, memanggil peristiwa-peristiwa masa lalu yang terjadi di kota kelahiran yang kini terkenal dengan kue mochi itu, peristiwa- peristiwa yang seakan membentuk pertanyaan tentang keraguan dan kesiapan untuk mulai berdamai dengan semua yang telah berakhir. Namun kenyataan memang selalu berlawanan dengan ketidak inginan. Semakin kereta berjalan semakin banyak ingatan yang terpancing, semakin kereta mendekati tujuan rasanya semakin hebat keberanianku terusik. Separah itu ternyata rasa yang dulu terasa hangat dapat berubah menjadi rasa yang belum pernah aku kenali sebelumnya, kutipan bahwa rasa mencintai dapat berubah menjadi benci, kini terasa sangat nyata bahkan terasa sangat lebih rumit dari itu, ia berubah terabstraksi menjadi rasa yang tidak dapat dijelaskan dan terus menghantui, entah membutuhkan berapa windu untuk membuatnya hilang atau setidaknya berkurang.
Matahari pagi menembus jendela kamarku dan mengusap wajah dengan hangat, aku terbangun dan melihat satu orang yang sama dipikiranku, sudah dua tahun rasanya aku selalu melihatnya disetiap bangun tidurku, kini seperti teringat seseorang yang bahkan tidak pernah terlihat lagi setitik pun jejak kakinya. Semua hal menjadi pertanyaan besar dalam hidup, apakah mungkin semesta memanggil untuk menyelesaikan kalimatku yang tak sempat diselesaikan atau semua hanyalah kebuntuan inspirasi untuk membuat kalimat baru dalam kertas kehidupan yang aku gunakan saat ini. Matahari kemudian menatapku semakin tajam melihat aku yang masih terpaku dalam lamunan pagi hari seolah memintaku untuk segera enyah dan menikmati hari.
Senja mengajaku untuk sedikit berkeliling mengenang kota ini, melihat betapa sejuknya pusat kota kecil ini, betapa banyak perubahan besar pada kota ini, sedikit kembali mengenang kemudian senja menuntunku kedalam gelap, semua terasa mengerikan, menyembunyikan satu persatu penerangan kota. Kegelapan yang membuat aku meraba-raba tembok ruko-ruko perkotaan, rasanya membuat ketakutan tersendiri, terdengar berlebihan namun terasa begitu menakutkan, aku begitu tenggelam di kota ini.
Suasana rumah pagi hari memberikan sedikit warna hijau pada pagiku, melihat kerepotan adik- adiku bersiap pergi sekolah seperti mengingatkanku betapa lucunya aku pernah menjadi mereka yang terlihat sangat sibuk saat bersiap berangkat sekolah. Aku kembali ke kamar dan kembali mengemas barang- barangku, kini rasanya hanya cukup sekedar mengenal kota ini dan aku harus melanjutkan hidupku di tempat lain, tidak mampu lagi tinggal lebih lama di kota kelahiranku sendiri, bagiku kini kota ini adalah sepotong kalimat yang tidak perlu ditambahkan kata- kata lagi.
Sepuluh lewat duapuluh menit adalah pukul keberangkatan kereta yang tercetak di karcisku, dua puluh menit aku perlu menunggu waktu itu tiba. Hiruk pikuk para calon penumpang, wangi khas sebuah bakery stasiun memanggil sedikit cerita mengingat betapa stasiun ini memiliki peran yang berarti, stasiun menceritakan kembali rasa senang saat tiba di kota ini dan rasa yang berat saat harus kembali meninggalkan kota ini, stasiun menceritakan betapa haru disambut seseorang saat tiba dan betapa sedihnya ditemani pergi setengah jalan, namun pada kenyataannya kita tidak ditemani menjalani hidup ini karena semua orang memiliki mata kepala yang melihat tujuan hidup yang berbeda dan mempersatukan tujuan hidup yang berbeda sangatlah mustahil terkecuali ada yang mengalah untuk merelakan mimpi-mimpinya.
YOU ARE READING
Kota Masa Lalu
RomanceSetiap orang memiliki kisah dalam masa lalu yang tersimpan, ada yang benar-benar dapat melupakan, ada yang butuh sedikit waktu untuk melupakan, ada yang lebih memilih menjadikannya sebagai pelajaran dan ada yang tenggelam dan butuh penyelamatan. Jik...