3. Anger

15.9K 1K 64
                                    

Castiello menatap datar hasil kerjanya, tak mempedulikan sepasang bola mata kuning yang menatapnya kosong tak bernyawa.

Kembali ia mengalihkan pandangannya ke satu objek yang menjadi alasan kemarahannya.

Gadis itu tampak lunglai, rambut oranye yang biasanya berkilau dibawah pancaran cahaya kini berantakan dan menutupi sebagian besar wajah pucatnya.
Tangannya menekuk dalam pose terikat dengan badan terdiam kaku, tatapannya kosong dan hampa, menunjukkan dirinya yang kelewat terguncang.

Castiello membuang muka,muak sekaligus sedih dengan apa yang dilihatnya. Rahangnya mengeras hingga urat-urat menyembul keluar, tercetak jelas di kulit kecoklatannya. Dengan kasar ia mengusap wajahnya, berusaha mengontrol emosinya yang mendadak meluap kembali.
Sekali lagi ia menghela nafas kasar, membiarkan erangan frustasi keluar dari bibirnya yang diakhiri dengan umpatan keras.

Setelah dirasa cukup siap, lelaki itu melangkah dengan kaku menuju ranjang menjijikkan itu, mendapati gadis itu tetap dalam keadaannya yang menyedihkan.

Sedetik Castiello hanya menatap mata biru itu, berusaha menemukan binar kehidupan yang tersisa di dalamnya. Tapi akhirnya ia menyerah dan mulai melepaskan kawat itu dengan geram dan melemparnya asal.

Electra tetap diam, hanya deru napas terputus-putus yang sanggup meyakinkan Castiello bahwa gadis itu masih hidup.

Castiello menghela nafas lelah.
Lengan besarnya menopang tubuh rapuh itu dan membawanya masuk ke dalam pelukannya, berusaha menyalurkan kehangatan yang dimilikinya.

Perlahan terdengar isak tangis yang keluar dari bibir Electra, membuat Castiello semakin mengeratkan pelukannya dan mengecup kening Electra berulang kali, berusaha menenangkan gadis itu.

Dengan tangan gemetar, Electra mencengkram ujung kemeja Castiello, berusaha menyalurkan rasa takut yang menyiksanya.
Melihat itu, Castiello membuka jubahnya dengan tergesa-gesa.

"Pakai ini," ucap lelaki berambut hitam itu, tangannya sibuk melilitkan jubah raksasa itu hingga membungkus tubuh mungil Electra dengan sempurna.

"Terima kasih," ucap Electra seringan angin, nyaris seperti bisikan, tapi Castiello dapat mendengarnya dengan jelas dan memilih mengabaikannya.

*****

Electra duduk di sebuah sofa berlengan dengan ukiran serta tulisan-tulisan aneh yang menghiasinya. Gadis itu membuka halaman buku itu dengan brutal, nyaris merobek setiap lembarnya. Tapi, kegiatan itu diakhiri dengan teriakan frustasi dan buku setebal lima inci yang dilempar asal.

Prang!

Brak!

Prang!

Electra menulikan telinganya,
lebih memilih membaringkan tubuhnya di sofa besar itu tanpa perasaan bersalah.

Detik berikutnya Electra disambut oleh langkah kaki yang menghantam keras permukaan lantai, nyaris menggetarkan pilar-pilar yang menahan bangunan kokoh itu.

"Apa yang terjadi disini?" ketus orang itu.

Electra memutar bola matanya bosan, mengabaikan pertanyaan yang dilontarkan kepadanya.

"Electra, aku tanya apa yang terjadi disini?!" geram Castiello sambil mengamati barang-barang yang masih tersisa di ruangan megah itu.

"Kalau kau punya mata, kau pasti tahu apa yang terjadi disini." sinis Electra, sibuk mengangkat kakinya tinggi-tinggi dengan pose berbaring di sofa.

Castiello mendelik ganas mendengar penuturan gadis itu dan berjalan mendekatinya.

"Setidaknya beri aku penjelasan mengenai tragedi penghancuran massal ini."

Claimed by The DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang