Prolog

77 6 10
                                    

"Zan, itu siapa?" tanya Keiji sambil menyikut Zansa yang duduk di sebelahnya.

Tak ada jawaban yang terdengar, mungkin pertanyaannya tenggelam oleh riuh rendah acara perpisahan. Mentari merangkak naik, membuat siang menjadi begitu terik. Meskipun begitu, penampilan tari di atas panggung menjadi suguhan yang menarik.

Keiji menoleh pada Zansa. Dia kira Zansa sedang fokus menonton penampilan tari itu, tetapi Zansa justru sedang memperhatikannya sambil tersenyum sendiri. Keiji merasa kesal sekaligus geli. "Ngapain, sih, ngelihatin sambil senyum-senyum gitu?"

"Kenapa baru sekarang?" kata Zansa sambil memicingkan mata seperti menggoda.

"Apanya?"

"Diosa."

"Hah?" Keiji benar-benar tak mengerti. Zansa gila sejak hari ini? Cara Zansa menatap Keiji benar-benar membuatnya jengah. Ingin rasanya Keiji mencongkel mata Zansa setelah menonjok wajah kawannya itu.

"Cewek yang lo lihatin itu namanya Diosa."

Oh, jadi itu namanya. Diosa. Diosa. Diosa. Keiji mengulang nama itu, merapalnya seolah-olah nama itu adalah mantra yang bisa mengubah hidup. Dalam hati, dia terus menyebut nama itu agar tidak akan pernah lupa sampai kapan pun.

"Kenapa baru nanya sekarang?"

Pertanyaan Zansa membuyarkan konsentrasi Keiji. Sial. Keiji berharap dia tidak benar-benar lupa nama cewek itu. Namun, Keiji juga tidak tahu kenapa dia baru bertanya sekarang, pada hari ini, di acara perpisahan.

Zansa mengalihkan pandangan. Kini dia melihat ke arah panggung. "Gue tahu lo suka lihatin dia dari dulu. Lo enggak pernah bilang, lo enggak pernah nanya, tapi gue tahu karena gue sahabat lo."

Keiji berdecak kesal. Dia merasa ruang privasinya dijebol oleh Zansa. Seperti maling yang tertangkap basah, dia merasa kebat-kebit hanya karena apa yang diucapkan Zansa. Kalau Zansa tahu bahwa dia sudah memperhatikan cewek itu sejak lama, berarti Zansa juga ikut memperhatikan cewek itu dari dulu? Entah kenapa, Keiji merasa sedikit kesal. Ditambah lagi, Zansa tahu nama cewek itu.

Mulut Keiji mengerucut, wajahnya memberengut. Kesal, dia kesal sekarang. Namun, rasa penasaran muncul di benaknya dan langsung membuat mata Keiji menatap tajam pada Zansa. Dia menyenggol lengan Zansa lalu bertanya, "Kenapa lo tahu nama cewek itu? Sejak kapan lo tahu?"

Zansa menoleh dan langsung menutup mulut. Dia berusaha menahan tawa yang ingin diledakkan saat itu juga. Ekspresi wajah Keiji itu sungguh membuatnya ingin tertawa terbahak-bahak.

Setelah beberapa saat mengendalikan diri, Zansa pun menjawab, "Ya tahulah. Rumah kami, kan, deket. Gue udah kenal dia dari kecil. Kalau enggak percaya, tanya aja sama orangnya langsung." Zansa menjawab dengan penuh rasa bangga, seolah-olah telah memenangkan pertandingan melawan saingan terberat bernama Keiji.

Mendengar jawaban Zansa, Keiji merasa berapi-api. Dia merasa kalah, tetapi juga lega karena merasa memiliki kesempatan walaupun hanya sedikit. Ya, sedikit sekali.

"Kalau gue nembak cewek itu, dia kira-kira bakal nerima atau nolak?" Keiji bertanya setengah putus asa.

"Hah?" Zansa terperangah. "Pertanyaan macam apa itu? Heh, lo kalau jadi orang itu ya sombongnya enggak usah selangit. Mentang-mentang lo banyak yang suka, sang idola cewek-cewek," gerutu Zansa sambil mendengus kesal.

Keiji menautkan kedua alisnya. "Zan, lo kalau jadi orang itu bodohnya enggak usah selangit. Coba inget baik-baik pertanyaan gue barusan itu apa."

"Eh?" Refleks Zansa menyahut. "Iya juga, ya, lo nanya apa, gue jawab apa," kata Zansa seraya terkekeh-kekeh sendiri. "Lagian, pertanyaan lo aneh banget. Bukan lo banget gitu."

"Ah, ya udahlah, pokoknya lo harus terus temenan sama dia, ya," ujar Keiji akhirnya. Senyum terulas di wajahnya ketika kalimat itu meluncur keluar.

Zansa mengerutkan dahi. "Kenapa lo enggak ajak kenalan dia aja sekarang, sih? Hari ini, kan, hari terakhir dia ada di sekolah ini. Lagian, kenapa baru nanya sekarang saat kalian bakal pisah sekolah?"

Keiji tersenyum tipis mendengar pertanyaan Zansa. Ya, mungkin dia bodoh karena baru bertanya sekarang, pada hari terakhir dia bisa melihat cewek itu, tetapi dia tak punya pilihan lain. "Gue enggak pernah tahu selama apa gue bisa tinggal di sini. Kapan pun Mama mau, dia bisa minta Ayah buat bawa kami sekeluarga pindah ke Jepang, tinggal sama keluarga besar Kakek di sana."

"Terus lo mau diam aja selamanya? Lo enggak mau gue kenalin ke Diosa? Gue bisa bantu, kok." Zansa menatap prihatin pada Keiji, dia benar-benar ingin membantu sahabatnya itu. "Eh, tapi balik lagi ke pertanyaan lo yang superaneh tadi itu, gue ngerasa lo bakal di—"

"Terima?" potong Keiji cepat. Keiji tersenyum lagi, kali ini dia melihat ke arah panggung, memperhatikan para penari yang keluar satu per satu dari panggung karena penampilannya telah selesai.

"Enggak perlu lo kenalin gue ke dia. Gue cuma ngerasa kalau gue dan dia akan ketemu lagi suatu hari nanti walaupun enggak tahu kapan waktunya. Masalah diterima atau ditolak, itu urusan belakangan." Keiji berkata dengan penuh keyakinan, seolah-olah apa yang dikatakannya akan benar-benar terjadi. Padahal, manusia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. 

Finding LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang