Dua Sosok

58 1 7
                                        

Saat ini aku sedang bingung, tak tentu rasa. Di satu sisi, aku memang telah menyayangi seseorang—Gion, tetapi di sisi lain, aku pun menyayangi Zoe. Dia datang saat aku baru beberapa lama dekat dengan Gion.

Kali pertama aku bertemu dengan Zoe adalah saat dia mulai masuk ekstrakurikuler PMR—yang pada saat itu aku mengujinya. Zoe lebih muda setahun dariku. Dia sangat menyebalkan, sulit diatur, dan aku tidak suka dengannya.

Jika aku bertemu dengan Zoe, dia dan teman-temannya selalu mengejek bahwa aku cerewet, jutek, bawel, galak. Ah, aku tak peduli. Akan tetapi, merekalah yang menjadi teman baikku di PMR, termasuk Zoe, sampai kami bertukar nomor ponsel. Dari sekian banyak adik kelas PMR yang bertukar nomor ponsel denganku, Zoe yang paling sering mengirim pesan padaku. Bahkan, dia tak ragu untuk meneleponku.

Semuanya berawal sejak enam bulan yang lalu. 

***

"Kak." Zoe memanggilku yang sedang membereskan ruang UKS.

Anggota PMR yang lain sudah pulang, yang tersisa hanya aku, Jova, Andre, dan Zoe—aku bahkan heran kenapa Zoe masih ada di sini.

"Ya?" Aku menoleh ke sumber suara.

"Diosa, nanti kunci UKS bawa sama lo. Gue pulang duluan, lanjutin beres-beresnya." Jova berjalan ke arah pintu UKS, tanpa sadar dia membuat Zoe tak jadi berbicara. Zoe pun hanya bisa mematung di luar UKS.

"Sekarang lo mau pulang gitu aja? Ketua macam apa?" Aku mendengus kesal. Dari dulu—bahkan sebelum kepengurusan ini dilantik, aku tak pernah akur dengan Jova. Lalu, ternyata dia terpilih jadi ketua dan aku wakilnya. Setiap rapat, pasti aku dan Jova tidak sependapat, selalu begitu. Untung saja PMR tidak bubar karena masalah-masalah internal ini.

"Gue, kan, ketua, bebas dong mau pulang kapan aja, bebas nyuruh apa aja." Dia berlagak sambil melipat tangan di dada.

"Lo pikir tugas seorang ketua itu cuma nyuruh-nyuruh doang, hah?" Aku bersungut.

"Heh, lo itu cuma—"

"Udahlah, Jo. Kenapa, sih, lo enggak bisa berlaku selayaknya seorang ketua? Jangan mentang-mentang ketua, lo bisa nyuruh ini-itu seenaknya dan lo cuma ongkang-ongkang kaki di kursi." Andre memotong kalimat Jova seraya menurunkan tangan Jova yang menunjuk-nunjukku.

Aku menganggukkan kepala, benar-benar setuju dengan Andre. Andre adalah sahabat Jova, tetapi sikapnya jauh lebih baik daripada Jova. Dia selalu menjadi penengah saat aku dan Jova bersitegang, seperti sekarang ini.

Jova hendak membuka mulut untuk berbicara, tetapi Andre lebih dulu berbicara, "Diosa, lo pulang sekarang. UKS ini gue sama Jova yang beresin. Lo udah banyak kerja dari tadi siang, udah nyiapin segalanya dengan baik buat acara besok."

"Enggak apa-apa, nih, gue pulang? Masa yang beres-beres cuma kalian berdua?" tanyaku merasa tidak enak.

"Ya ampun, Diosa, lo kenapa keterlaluan banget, sih?" Andre menarik napas panjang. Wajahnya terlihat lelah.

"Keterlaluan? Maaf kalau gue keterlaluan, tapi gue keterlaluan apa? Apa gue udah bikin masa—"

"Lo keterlaluan banget baiknya. Sekarang udah sore, gue tahu lo cewek baik-baik yang udah harus ada di rumah sebelum matahari tenggelam. Jadi, pulang sekarang, ya. Lo harus istirahat." Andre melembut, menatapku khawatir.

Aku menganggukkan kepala seraya tersenyum pada Andre. "Gue pulang duluan, ya," kataku berpamitan pada Andre dan Jova.

"Hati-hati. Jangan lupa belajar! Hari Senin nanti lo harus dipanggil di akhir upacara. Jangan bikin malu gue," seloroh Andre.

Finding LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang