Bab 4 Idhgham Bilaghunnah vs Hukum Heisenberg

11.2K 1.1K 157
                                    

“Assalamualaikum, Buya. Juma pulang.” Tidak seperti biasa, Juma langsung melewati ayahnya yang duduk di ruang tengah. Cowok itu masuk dalam kamar dan merebahkan tubuh di atas ranjang.

“Ada apa?” Ayahnya sudah menyusul dan sekarang berdiri di depan pintu, menyandar sambil mengamatinya. Juma melirik kemudian menghela napas.

“Capek, Buya.”

“Mata kamu nggak bilang itu, Juma.” Sang ayah mendekat, duduk di sebelah kiri anaknya. “Cerita ke Buya. Apa yang bikin kamu kayak gini?”

Juma duduk. Alih-alih menjawab pertanyaan, ia malah menghela napas kemudian menunduk.

“Patah hati, ya?”

Juma buru-buru menggeleng. “Buya, apa salah kalau Juma suka seseorang?”

Ayahnya diam, menunggu cerita lebih lengkap.

“Dan, saat Juma tahu bahwa orang yang Juma suka ternyata menyukai orang lain, rasanya nggak enak, Buya. Ini kedengerannya childish banget ya, Buya. Juga kayak orang yang nggak tahu ajaran agama. Cuma…,” Ia terpaksa berhenti, pita suaranya seperti tercekik, “rasanya—”

Revan memeluk putranya, menepuk bahu lalu berkata, “kamu nggak perlu menjadi sosok malaikat di depan ayahmu.”

Nasehat itu setidaknya memberi suntikan semangat untuk jujur bagi Juma. Cowok itu memandangi ayahnya beberapa menit kemudian memutuskan untuk berbicara lagi. “Kadang, Juma ingin fokus pada studi dan rumah dhuafa, Buya. Juma mau menekan semua hal yang nggak ngasih manfaat buat masa depan Juma. Akan tetapi, sepandai-pandainya Juma merencanakan sesuatu, hati Juma masih kebobolan. Ironisnya, Juma berpikir bahwa dia adalah masa depan Juma.” Ia tersenyum sarkatis, merasa bodoh dan miris. “Juma nggak bisa ngejaga hati. Yang seharusnya penuh dengan cinta ama Allah, Rasulullah, ama Buya, atau Umma dan Bang Bian, justru di bagian lain, terisi oleh seseorang yang seharusnya Juma sayangi sebatas teman.”

Jeda sejenak. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing sementara gerimis mulai menyapa. Rintiknya bergemerisik di atap, dedaunan, bahkan tanah. Angin masuk melalui kusen-kusen jendela, membawa aroma basah tanah.

“Juma harus bagaimana? Juma nggak mau kayak gini.”

Seutas senyum teduh itu diperlihatkan ayahnya, membuat ketenangan menyelimuti hati Juma yang semula terasa goyah dan terombang-ambing.

“Seperti gerimis, maka biarkan airnya menapak tanah. Dengan begitu kamu akan tahu seperti apa aroma tanah basah. Akan tetapi, kamu harus tetap bertunas di antara tunas-tunas lain yang ingin menghijau bersamamu atau bersaing denganmu.” Ayahnya malah bermain teka-teki. Tahu bahwa Juma belum menangkap apa yang ia katakan, Revan berdehem, “Juma… kadang, anak muda itu memang harus jatuh cinta sejatuh-jatuhnya, patah hati sepatah-patahnya, lalu setelah itu bangkitlah, mendewasalah bersama luka-luka yang menganggunkan jiwamu. Sebab, ketika kamu merasakan sakit karena mencintai seseorang, saat itu juga kamu tahu siapa yang benar-benar tidak pernah menyakitimu bahkan tidak pernah meninggalkanmu apapun yang terjadi.”

“Buya… kalau tahu rasanya patah hati seperti ini, Juma jadi nggak berniat menyukai siapapun, sehingga Juma tidak perlu merasa tersakiti.” Cowok itu merebahkan tubuh di ranjang, menatap langit-langit kamar.

“Kalau begitu keputusanmu, kenapa kamu masih mengasihani dirimu sendiri?” Revan menaikkan alis sebelah, mempertanyakan sikap Juma yang berbanding terbalik dengan logika anaknya. “Bukankah akan lebih baik jika kamu mengisi masa mudamu dengan hal-hal yang bermanfaat? Membangun kapasitas diri, lalu sukses di usia muda, misalnya.”

Juma nyengir. “Masa puber itu rumit ya, Buya. Coba kalo tiba-tiba Juma langsung berusia dewasa. Rasanya pasti nggak akan seperti ini.”

Revan terkekeh. Geli dengan pola pikir anak bungsunya. “Yang ada kamu akan kesulitan beradaptasi. Nikmati saja, dan selalu mawas diri.”

Mufaisha NurpatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang