HUJAN

17 0 0
                                    

Hujan saat ini mengingatkan Eka akan kenangan lima tahun lalu yang masih memeluknya dengan erat. Eka Dewanta, gadis yang memiliki keceriaan tinggkat akut, menyapa orang lain yang berpapasan dengannya padahal ia sendiri tak mengenalnya, dan yang akan menampung rintik hujan di telapak tangannya dengan mata tertutup. Ia menyukai hujan, sangat. Terlebih saat hujan mendekatkannya dengan seseorang yang ia suka dalam diam. Yoga Prasetya, ketua futsal dan ketua OSIS SMA Harapan. Meskipun Yoga tidak seganteng aktor Giorgio, tapi dia memiliki wajah manis seperti Afgan. Eka sudah menyukai Yoga jauh sebelum mereka masuk SMA, selain karena satu SMP, mereka juga tetangga sewaktu kecil. Tapi itu semua hanya ia lakukan dalam diam, tak berani mengaku karena kurang percaya diri. Saat mereka tak sengaja satu bangku dalam bus sekolahpun hanya suasana kaku yang menemani mereka.

Tapi suatu hari semua terasa berbeda bagi Eka. Saat itu tiba-tiba hujan menyiram kota Bandung dengan lebatnya membuat siswa/i yang berjalan kaki mengeluh karena tak bisa langsung pulang. Berbeda dengan Eka yang dengan santainya menampung rintik hujan ditangannya sembari memejamkan mata. Eka rindu saat-saat seperti ini, karena sudah lebih dari satu bulan hujan tidak meyirami kotanya. Masih asik dengan kegiatannya, tiba-tiba dering handphone mengagetkannya, dengan mendengus ia menarik tanganya satu guna mengambil handphone di saku rok sekolahnya. Saat ia melihat siapa yang menghubunginya, ia mengernyit karena tumben-tumbenan abangnya menelfon.

"Kenapa?" tanya Eka tanpa memberi salam terlebih dahulu. Terdengar gerutuan diseberang sana.

"Kamu memang gak pernah sopan sama abang," ujar abangnya yang hanya direspon Eka dengan kekehan. "Cepat pulang, Mama Papa udah pulang." Eka sedikit terkejut mengetahui Mama Papanya pulang cepat.

Senyumnya langsung mengembang sangat lebar. Tanpa mempedulikan abangnya yang masih mengoceh, Eka langsung mematikan sambungan telfon sepihak, sedangkan abangnya diseberang sana mencak-mencak karena kelakuan adeknya yang tidak sopan padanya.

Setelah memasukkan handphone ke saku rok, Eka sedikit berlari ke gerbang sekolah untuk segera pulang, karena dari tadi Eka berdiri di koridor kelasnya. Sebelum sampai gerbang sekolah tiba-tiba Eka berhenti dan menepuk jidatnya cukup keras hingga dia sedikit meringis.

"Astaga, gimana bisa aku cepat-cepat meluk Mama Papa kalo hujan aja ngelarang aku pergi dari sekolah." Eka mendengus, untuk pertama kalinya ia tak suka dengan kehadiran hujan. Eka melanjutakan kembali langkahnya dengan bahu merosot. Sesampainya di gerbang sekolah, ia melihat banyak siswa/i yang menerobos hujan.

Untuk sesaat Eka dilema, apa ia juga harus seperti teman-temannya atau ia minta di jemput sama abangnya, tapi abangnya pasti tidak akan mau menjemputnya sekalipun hujan badai, Eka seketika mendengus. Kalo ia meminta di jemput Mama Papanya, itu tidak mungkin mereka pasti masih lelah. Eka mengacak-acak rambutnya dengan kaki yang menghentak-hentak ke lantai, tidak perduli dengan tatapan disekitarnya, ia kesal sendiri. Setelah aksi konyolnya, tanpa pikir panjang ia menerobos hujan ke halte untuk menunggu bus yang mungkin sebentar lagi akan lewat.

Tapi mungkin hari ini hari sial bagi Eka, belum sampai di halte tanpa sengaja kakinya menginjak tali sepatunya yang lepas, alhasil kaki Eka terkilir. Tanpa memperdulikan orang-orang yang menatapnya kasihan, Eka mencoba bangkit berdiri, tapi belum ada satu langkah ia kembali terduduk di aspal ditemani hujan yang semakin deras. Eka menangis sesenggukan, selain karena malu, ia juga sangat kesakitan. Tiba-tiba Eka tidak merasakan air hujan membasahi badannya. Saat ia mendongak untuk melihat siapa, Eka menemukan dia. Dia yang selama ini hanya bisa Eka lihat dari jauh dan tersembunyi, sekarang Eka bisa melihatnya dengan jelas, Yoga Prakoso ada di depannya sekarang ini dengan tangan kiri memegang payung putih transparan dan tangan kanan yang terulur pada Eka.

Untuk sesaat Eka terdiam menikmati ciptaan Tuhan yang selama ini ia damba. Selalu seperti ini, tak perduli jauh ataupun dekat jantung Eka akan selalu berdentum dengan keras dan cepat. Masih dengan menatap Yoga, tangan kanan Eka naik ke arah dadanya. Yoga yang melihat Eka tak menyambut tangannya akhirnya berdehem cukup keras, seketika Eka tersadar dan menunduk malu.

Ini awal dari kisah yang akan mereka hadapi.

HUJANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang