Situasi sekarang bukan seperti saat kami pertama kali menempati rumah ini. Bau khas cat yang menyambut saat pintu utama dibuka. Warna dinding yang menyerupai langit cerah. Perabot-perabot kayu yang masih mengilap. Semua, seolah ikut menyambut kedatangan kami. Turut campur tangan dalam komitmen janji pernikahan kami.
Hampir setiap malam--selepas aku mengganti pakaian kerjaku--aku dan Maggy akan menghabiskan waktu di depan televisi. Duduk berdekatan di sofa. Terkadang Maggy menyandarkan kepalanya di bahu dan aku akan merangkul erat bahunya. Kami memiliki rutinitas untuk menonton video yang menurut kami merupakan sumber inspirasi dan keberanian kami untuk melangkah dan menyucikan hubungan di hadapan Tuhan. Kebanyakan yang aku kenal hanya ingin hubungan tanpa status. Maggy berbeda. Cintaku, Maggy, tidak seperti itu. Dan selama sisa hidupku, Maggy akan selalu menempati posisi pertama di hati dan pikiranku.
Ada rutinitas lainnya yang sering kami lakukan saat akhir pekan. Maggy akan membawa ceret yang berisi teh. Kami duduk berhadapan di bangku taman belakang rumah. Menikmati sinar kemerahan matahari dari sisi barat yang merembes di antara celah pagar, dan meluber di atas rerumputan. Suara Maggy mengisi sore kami. Bercerita tentang apa saja yang dia alami seminggu ini, dan aku sesekali menimpali. Atau terkadang, aku yang menjadi narator, Maggy menyimak dengan baik.
Aku dan Maggy--seperti pasangan menikah lainnya--memiliki keinginan untuk mempunyai anak. Anak kami. Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Maggy meyakinkan bahwa apa yang tengah kami alami bukan sepenuhnya salahku. Maggy sangat menyukai anak kecil, tapi menolak untuk mengadopsi salah satu anak yang berada di panti asuhan. Dia merasa tidak adil bila mengambil salah satu dari mereka, sedang yang lain tetap tanpa orang tua. Dia ingin agar kami rutin mengunjungi mereka setiap akhir bulan. Berbagi. Dan dia mengatakan, bahwa dia hanya membutuhkan aku untuk selalu berada di sampingnya.
Aku ingin menyalahkan Tuhan atas garis hidup yang Dia berikan untukku. Seolah belum cukup aku dan Maggy tidak bisa memiliki anak, Dia membuat posisiku semakin sulit.
Sudah lima bulan, aku hanya mampu memandangi Maggy dari ambang pintu dapur. Memperhatikan bagaimana tubuhnya lincah mempersiapkan sarapan, makan siang, dan makan malam kami. Tidak ada lagi rutinitas yang kami lakukan, entah malam atau sore hari di akhir pekan. Dan hanya Maggy yang tetap mengunjungi panti asuhan pada akhir bulan.
Aku tidak bekerja lagi. Maggy mengambil alih posisiku sebagai pencari nafkah. Selalu kulihat dia pulang hampir tengah malam. Tersenyum lembut saat mata kami bertemu. Menegurku, apakah aku membutuhkan sesuatu, dan menyuruhku dengan halus agar aku beristirahat. Dan dia tahu, aku tidak pernah bisa beristirahat lagi. Aku tidak pernah bisa memejamkan mataku lagi.
Aku sudah menyuruh Maggy untuk pergi mencari kebahagiaannya. Dia masih muda, cantik, dan bisa memiliki anak dari pria lain seandainya dia mau menandatangani surat perceraian kami. Namun, Cintaku tetap bertahan. Meyakinkan--lagi--bahwa ini bukan salahku dan Tuhan. Dia membutuhkan aku untuk di sisinya. Terus. Selama sisa hidup kami.