James Smith terus memperhatikan gerak-gerik Maggy--istrinya--yang sibuk berjalan dari satu lemari gantung ke lemari gantung yang lain. Membuka pintu-pintu di sana. Entah sadar atau tidak, wanita itu sudah membuka dua kali pintu lemari yang sama, tapi sepertinya apa yang dia cari belum ditemukan. Maggy seperti menyerah. Tidak lagi berjalan hilir mudik. Dia berhenti di tengah ruangan, di sebelah meja makan, membelakangi James. Berkacak pinggang dan berdecak kesal. James masih ingat seperti apa wajah Maggy yang merengut. Jika keadaan normal, James pasti sudah meledek Maggy.
Normal. Yah, normal. James sudah memutuskan semalam. Batinnya perang akan hal yang terlintas begitu saja di pikirannya, dan mendapat seluruh atensinya. Dia tidak kejam. Dia bukan pelaku kriminal. Bukankah Maggy yang memutuskan untuk tetap berada di sampingnya? Maggy yang ingin terus bersamanya. Dan dia ... mencoba untuk memenuhinya.
Langkah James pelan menghampiri Maggy yang masih berkacak pinggang. Suara wanita itu lirih, tapi dia bisa mendengar dengan baik. Bahkan sekarang Maggy sudah bisa mencaci maki seperti dirinya dulu saat tidak menemukan barang dicari.
Tidak ada keraguan saat James menggenggam tangan Maggy. Meski harus dia akui bahwa detak jantungnya sudah melebihi normal. Dan Maggy tampak terkejut. Sepasang mata biru Maggy memerangkap matanya. Menatapnya tidak percaya.
"Bisakah ... kau ikut denganku?" tanya James, lebih menyerupai bisikan dan Maggy mungkin tidak bisa mendengar, jika ruang dapur mereka hening. Dia sedikit berdeham. "Ini sudah sangat lama ..., kautahu?"
James melihat mata Maggy yang berkaca-kaca. Setiap kali Maggy terharu dengan sesuatu yang menyentuh hati atau merasa sakit karena hal yang menyakiti perasaan, dia akan merangkul Maggy, menenangkan istrinya. Namun, yang sekarang dia lakukan adalah menuntun Maggy. Tanpa Maggy menjawab pun dia tahu, Maggy selalu setuju dengan keputusannya.
Maggy menggunakan tangannya yang bebas untuk menghapus air mata yang menuruni pipinya. Setelah sekian lama ... hidup seperti dua orang tanpa saling mengenal, James seperti kembali untuk dirinya. James tidak lagi menatapnya tajam penuh rasa bersalah. James tidak lagi membekukan lidah untuk berbicara padanya. Dan sekarang tangan James erat menggandeng tangannya.
Maggy sudah melupakan kekesalannya karena tidak menemukan pisau yang biasa dia gunakan untuk memotong sayuran, bahkan ketika dia terkejut melihat James yang mau menyentuhnya.
Maggy tahu, berat bagi James melewati semua apa yang terjadi. Dia ingin menolong James, tapi suaminya itu terlanjur membuat pagar. Batas kokoh yang tidak bisa Maggy tembus. Dan sekarang, saat James menggandeng tangannya dan mengajak dia memasuki ruang kamar yang selama ini ditempati James, dia tahu apa yang harus dia lakukan.
Kamar itu tidak lebih besar dari kamar utama yang dulu ditempati James dan Maggy. Hanya ada single bed, sebuah nakas di samping ranjang, lemari kayu di pojok ruangan, meja rias kecil yang berada di sebelah jendela besar.
Maggy mengernyit, setahu-nya James selalu menyalakan lampu bahkan di hari panas sekalipun. Namun, kamar yang baru dimasukinya beberapa langkah ini gelap. Tidak pekat. Walaupun jendela ditutup serta tirai diturunkan, cahaya matahari yang masih beranjak dari sisi timur masih mampu memberikan suasana temaram dalam kamar.
James menuntun Maggy hingga mereka duduk di pinggir kasur. Dia seperti kembali menghadapi malam pertama bersama Maggy. Gugup. Senang. Takut. Bersyukur. Dan kini, ditambah perasaan bersalah. Untuk yang terakhir, dia mencoba mengabaikannya.
"Kau ... apa mau kau menemaniku tidur?" Suara James masih menyerupai bisikan.
Maggy tersenyum. "Tentu."
James memosisikan diri di sebelah kanan kasur setelah sebelumnya meminta Maggy dengan halus agar berada di sebelah kiri kasur. James menyusupkan sebuah benda yang dia simpan di bawah selimut ke genggaman tangan kanannya. Maggy langsung menghadapkan tubuhnya pada James dan semakin menarik selimut ke atas tubuh mereka. Tubuh mereka saling mendekat.
"Ini ... sudah lama."
"Aku tahu."
"Aku pernah mengatakan padamu untuk pergi, tapi sungguh, aku merasa buruk setelahnya."
"Aku tahu."
James menatap dalam sepasang mata Maggy. "Aku mencintaimu."
Maggy tersenyum. "Aku tahu. Aku juga mencintaimu."
"Ini mungkin terdengar gila, tapi ... tapi aku tidak bisa meninggalkanmu." Hati kecil James tetap menolak rencananya. Dia sudah bersumpah untuk setia dan selalu melindungi Maggy. Lalu, apa yang akan dia lakukan sekarang?
Maggy mengangkat tangannya dan mengusap pipi James yang sudah basah oleh air mata. "Kalau kau tidak bisa meninggalkan aku, bawalah aku, James," tuturnya lembut.
James terhenyak. "Ini ... sangat berat."
"Aku mengerti. Aku merasa bahagia. Sangat bahagia. Saat kita bisa seperti ini. Meski tidak seperti dulu, tapi ini sungguh berarti untukku."
Tanpa berpikir lagi, James melakukan niatnya. Tangan kananya terangkat, membelai wajah Maggy yang menampakkan air muka kesakitan. "Maaf .... Aku tidak ingin kau bersama orang lain. Aku terlalu mencintaimu. Aku ingin selalu kau berada di sisiku."
Dalam temaram kamar, Maggy tersenyum. Sementara James memeluk erat tubuh Maggy, bibirnya berucap, "Aku segera menyusulmu. Tunggu aku."
Selesai.