Sensasi yang kau rasakan ketika mendengar seseorang meminta 'kehidupan' darimu, membuatmu semakin ingin dan ingin untuk melenyapkannya.
¤¤¤"Dimana Jong In?" Tanya wanita renta yang kini tergolek lemah di atas ranjang pesakitan.
"Presdir sedang menghadiri pertemuan eksekutif muda di Jeju, Ketua." Ujar sekretaris kepercayaannya, Jung Soo Jung.
Ketua Shin memang telah memutuskan sejak satu tahun lalu untuk mundur dari jabatannya dan memberikan kursi kepemimpinan kepada cucu satu-satunya, Kim Jong In.
Terdengar bunyi helaan nafas pelan dari mulut sang Ketua. Kedua matanya terpejam. Di wajahnya terdapat guratan-guratan yang mengisyaratkan telah lamanya ia hidup di dunia ini.
"Soo Jung-ah, kemana perginya Jong In kecilku? Aku tau cepat atau lambat hal ini akan terjadi. Tetapi, apakah benar hanya ini harga yang sebanding untuk menebus segala sesuatunya?"
Soo Jung sedikit tergagap karena pertanyaan tiba-tiba itu. Tidak, bukan karena ia tidak tau apa maksud pertanyaan tersirat itu, namun justru karena ia sangat faham. Leluhurnya telah turun temurun mengabdi di keluarga Kim. Sebelum ini, ayahnya adalah orang kepercayaan Ketua sampai akhirnya ialah yang mengambil posisi itu dikarenakan usia ayahnya yang sudah tidak memungkinkan lagi. Jadi bisa dipastikan tidak ada lagi rahasia antara keluarganya dengan keluarga junjungannya itu.
Cukup lama kamar tidur mewah yang disulap menjadi ruang perawatan itu hening. Hanya terdengar tetes-tetes air dari selang infus yang terhubung ke tangan kanan Ketua dan benda berbentuk tabung komputer yang mendeteksi detak jantung.
"Sekalipun kau tidak memberitahuku, aku tau apa yang sebenarnya terjadi. Kuharap semuanya berakhir sejak lama, tapi inilah yang terjadi. Oh.. cucuku yang malang."
Soo Jung semakin tidak tau lagi harus bereaksi seperti apa, jadi ketika nenek renta itu kini terisak-isak kecil, ia hanya bisa menghela nafas dan keluar dari kamar tersebut.
***
Di dalam ruangan gelap itu, bau menyengat telah mendominasi setiap oksigen yang ada. Jika orang lain, pasti akan segera menghambur keluar dan memuntahkan segala isi perutnya. Namun, hal itu nampaknya tidak berlaku bagi pria bertubuh jangkung yang saat ini tengah berdiri ditengah-tengah ruangan. Perlahan ia bergerak ke sisi kanan ruangan sambil sesekali menghirup aroma yang telah mencanduinya. Ditekannya sakelar yang menempel di tembok ruangan itu dan BYAAARRR...
Darah ada dimana-mana. Menggenang seolah-olah air bah baru saja tumpah disana. Bukan, bukan air bah. Ini darah. Demi Tuhan, DARAH.
Matanya berbinar seolah-olah ia tengah melihat suatu pemandangan yang indah. Tangannya masih menggenggam pisau yang masih meneteskan darah segar di ujungnya. Tunggu, jangan lupakan pemilik darah segar yang menggenang tadi.
Seorang wanita terbujur kaku dihadapannya. Baiklah, MAYAT lebih tepatnya. Kesepuluh jari tangannya mengepal kaku, entah karena menahan sakit menjelang kematiannya atau menahan takut. Yang manapun, yang jelas jari-jari cantik itu tak akan bisa diluruskan lagi. Ia harus rela dikubur dengan posisi jari seperti itu.
Untuk terakhir kalinya sebelum meninggalkan ruangan itu, si pria bertubuh jangkung menghirup udara --darah lebih tepatnya-- dengan dalam diikuti seringai puas setelahnya.
***
Suara pecahan kaca terdengar nyaring di dalam kamar berdaun pintu kayu berwarna coklat itu. Suara teriakan menggema setelahnya.
"Singkirkan... singkirkan itu!!!!"
Sek. Park segera masuk dan melihat kekacauan yang terjadi. Presdirnya kini telah terduduk dan mendekap kedua kakinya di depan dada sambil berteriak-teriak histeris menatap sepasang kemeja dan celana hitam di lantai.
"Presdir.. presdir.. saya mohon tenanglah.." Teriaknya sambil memeluk sang tuan yang semakin meraung-raung.
"Tidak-tidak.. ini pasti hanya mimpi atau.. atau mungkin aku sedang berhalusinasi. Hyung, ku mohon bangunkan aku. Ah.. tunggu, psikiater.. ya.. hyung kau harus mencari psikiater, kukira aku sekarang menjadi gila karena bekerja." Racau sang Presdir. Ya, pria yang kini terlihat tersiksa itu adalah Kim Jong In.
Park Jung Soo, nama lengkap sang sekretaris --sekaligus seseorang yang telah dianggap kakak oleh Kim Jong In-- hanya bisa mendekap atasannya itu semakin erat. Tatapannya nanar ke arah seonggok kemeja dan celana di lantai tadi. Tunggu.. jika diperhatikan lebih jeli lagi, ada kilatan berwarna merah yang tertempel disana...
***
"Sudah kau bereskan?"
"Ya, Anda tidak perlu cemas"
"Baiklah, terimakasih. Oh ya, aku telah mengirim sejumlah bingkisan ke rumahmu."
"Aigoo.. Anda seharusnya tidak perlu repot-repot. Saya hanya menjalankan apa yang menjadi tugas saya."
"Bukan apa-apa, tapi kau harus pastikan semua tetap ada pada tempatnya."
"Ya, Saya mengerti. Anda tidak perlu meragukan kesetiaan Saya."
Detik berikutnya, sambungan jarak jauh tersebut terputus seiring dengan masuknya sang penelpon ke dalam mobil meninggalkan rumah besar dipinggir pantai itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stare From the Dark Side (COMPLETED)
TerrorEXO's Dark Side Series #1 Kim Jong In €€€€€₩₩₩€€€€€ Cerita ini MURNI milik saya. Bila ada kesamaan dalam karakter, latar, maupun alur, hal tersebut merupakan ketidaksengajaan semata.