The Pain of Loving

835 15 6
                                    

TK-SD

"Mbak Oyoooon."

Suara bocah kecil berusia 5 tahun itu membuat Orion menoleh. Panggilan yang tak pernah berubah walau pun bocah kecil itu sudah pandai berbicara. Seketika tawanya mengembang mendapati tetangga yang ditunggunya datang.

"Napa dek Step?"

Stephan nama bocah laki-laki yang tadi memanggil nama Orion dengan sebutan Mbak Oyon itu. Dia berlari menghampiri Orion yang sibuk menggambar di teras rumahnya, masih lengkap dengan seragam taman kanak-kanak dan ransel bergambar Monyet kesayangannya. Ransel hadiah ulang tahun yang diberikan Orion kepadanya sewaktu Stephan resmi menyandang status siswa taman kanak-kanak di usianya ke 5 tahun.

"Mbak Oyon, kok gambarnya nggak nunggu Stephan pulang?" Bibir Stephan sudah maju 5 centi tanda merajuk. Dengan mulut yang masih menelucur, Stephan mengeluarkan peralatan menggambar yang setiap hari di bawanya ke sekolah.

Orion hanya tertawa. Sejak Orion berjanji mengajarinya menggambar setelah Stephan masuk taman kanak-kanak, Stephan selalu mampir ke rumah Orion untuk menggambar bersama. Kadang sampai mama Stephan mengomel dan menyeretnya pulang, karena Stephan langsung mampir tanpa mengganti seragamnya dulu.

Stephan adalah tetangga sebelah rumah Orion. Usia mereka terpaut 3 tahun. Stephan dan Orion sangat dekat. Setiap hari selalu bermain bersama. Kadang jika Orion pergi dengan teman-temannya yang lain Stephan selalu merajuk dan memaksa untuk ikut. Tapi Orion tak pernah keberatan, karena Stephan bukan anak yang cengeng dan merepotkan, bahkan teman-temannya yang lain selalu memaksa Orion untuk mengajak Stephan setiap mereka pergi bermain bersama.

Stephan selalu mencuri perhatian teman-teman Orion. Wajahnya yang tampan dan lucu dengan pipi putih bulat berisi membuat teman-teman Orion gemas dibuatnya, hingga membuat Orion cemburu. Terkadang Orion berbohong agar Stephan tak ikut bermain saat dia sedang bersama teman-temannya. Bukan iri dengan Stephan karena dia menjadi pusat perhatian, tapi karena Orion merasa Stephan adalah miliknya. Adik kesayangannya. Tak ada yang boleh merebut Stephan dari tangannya, sekali pun teman-temannya.

SD-SMP

Stephan berjalan pulang bersama teman-temannya. Dengan balutan seragam putih-merah tak lupa sepatu hitam dan ransel warna hitam tersandang di bahunya.

"Aku duluan ya teman-teman." Stephan berlari memasuki halaman rumahnya, tak lupa melambai sebagai salam perpisahan kepada teman-temannya.

Stephan sudah beranjak besar sekarang. Pipinya yang bulat berisi sedikit menirus dengan bertambahnya usia. Tak ada ransel bergambar monyet yang dulu setia menemaninya ke sekolah. Tapi dia tetap Stephannya Orion.

Stephan tetap rutin datang ke rumah Orion. Menggambar bersama, seperti sebuah kewajiban untuknya. Lebih dari sekolah, Stephan datang setiap hari hanya untuk menggambar. Tak ada istilah hari minggu atau libur, dia selalu datang setiap pulang sekolah, bahkan saat tanggal berwarna merah sekali pun. Bedanya, sekarang ia tak lagi lupa berganti seragam.

+++

Beberapa tahun menjelang, Orion telah beranjak remaja. Tak lagi berbalut seragam putih-merah. Ia sudah resmi menjadi siswi SMP. Stephan? Masih berseragam putih-merah tentunya. Menggambar tak lagi menjadi rutinitas. Bersama tak lagi menjadi prioritas. Mereka tumbuh menjadi pribadi yang berbeda. Wajar saja karena dunia mereka tak lagi sama.

Stephan yang mulai besar, sibuk bermain bersama teman laki-lakinya. Layaknya anak laki-laki, sebagian waktu dihabiskan untuk bermain di luar. Tak lain dengan Orion yang sekarang beranjak remaja. Selayaknya ABG, ia tumbuh menjadi remaja perempuan pada umumnya. Orion mulai suka bergosip, mulai mengerti cara berdandan, dan mulai mengenal jatuh cinta.

The Pain of LovingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang