oan
Sunrise di larang agama!
Terinspirasi dari kisah nyata keseharianku sendiri bersama seorang kawanku. Tentunya di permak dengan sentuhan sastra sesuai gaya penulisan pengarangnya.
"Wah! Sudah bulan Ramadhan aja, ya? Cepet banget."
"Iya nih! Nggak berasa. 'Ntar tarawihan dimana?"
"Masjid laah! Masak dalem lubang hidung!" godaku menyingkap lubang hidung sendiri.
"Hahahaha... dasaar!!" gadis itu tertawa renyah mendengarnya. "Segede-gedenya lubang hidung, semut aja sesak naaapas kali kalau tarawihan disana!"
Kamipun ngakak bersama.
"Semmut, sesak napas! Baru denger aku. Jangan-jangan ntar ada lalat kanker ketek! wakakakakkk."
Ngakak lagi bersama.
"Eh, Kalu gitu jangan lupa! Nati ngajak-ngajak ya!"
"Kemana?"
"STASIUN JANGKRIK." jawab gadis itu dengan wajah serius.
"wakakakakkakakk...."
"Kemasjid laaah!!" lanjut gadis itu.
"Iya, iya. Siiip!!!"
"Syubuh juga kemasjid, yuk?!"
"Aaa?... Liat nanti ya? Soalnya aku cowok sendirian, jadi agak kurang... sammmmmm-thing gitu kalau nggak ada temen." Ucapku mengedipkan sebelah mata tepat di kata thing.
"Emangnya kenapa?"
"Kurang nyaman aja!"
"Eh ajak Ari dong! Biasanya kalian tak terpisahkan."
Lo kata gue kembar dempet, nggak terpisahkan! "Dianya sibuk!"
"Syubuh juga sibuk?"
"Sibuk."
"masak sih sibuk?"
"sibuuuk!"
"Emang sibuk apaan sih, tu anak?
"Pokoknya sibuk."
"iya, sibuk apaan makanya?"
"Sibuk tidur, sibuk nelpon, sibuk sms-an." hitungku dengan jari. "Kan kamu tahu sendiri! temen kita satu itu selalu sibuk telponan sama pacarnya kayak orang LDR-an. Nggak pagi, nggak siang, nggak sore, nggak malem, nggak tengah malem, nggak subuh, semua waktu dipake telponan!" sapuku dengan tangan. "Aku main kerumah nya aja, mesti paparazzi dulu! Dianya sibuk apa nggak?"
Setan! Umpat gadis itu dalam hati. Wajahnya langsung mengusut, menekuk, dan menjudes. Matanya menatapku antagonis, hampir seantagonis pemeran ibu tiri dalam film jadul Ratapan Anak Tiri.
Gadis itu bernama Nurul. Ia merupakan teman baikku, teman semi-curhatku, dan teman nongkrong sehari-hari beberapa tahun ini. Dan beberapa bulan belakangan, tindak-tanduknya berubah 150 derajat. Entah apa alasan untuk perubahan positifnya tersebut. Ia berubah dari tipe cewek-cewek tempramen pemberontak yang pakaiannya minim bahan menurut budaya kampung, menjadi hijabber adem yang kritis akan persoalan aurat. Bahasanya juga menjadi lebih kalem, meskipun, sesekali sisi tempramentalnya masih terdengar mendominasi, apalagi dia orangnya ngototan, nggak mau ngalah kalau sudah ngomong. Sampai aku yang juga ogah ngalah kalau dengar sesuatu yang kurang benar, kerap kali menohoknya dengan tajam atau membolak-balikkan kata-katanya sendiri dengan versi yang lebih lempeng menurut pemahamanku yang memang kritis akan berbagai persoalan. Aku sangat kritis, terutama pada teman-temanku yang sering salah kaprah akan sudut pandang dangkal mereka akan segala sesuatu. termasuk Nurul yang baru aja belajar agama, tapi lagaknya sudah sok paling religious seakan semua yang dipikirkannya adalah kebenaran mutlak.
YOU ARE READING
Sunrise Dilarang Agama
EspiritualSebuah cerita sehari-hari yang terinspirasi dari kesalahpahaman sudut pandang seorang kawan.