Millia

83 6 0
                                    

Disana pria itu menangis, bersimpuh di depan gundukan tanah bertabur bunga dengan papan tertancap bernamakan Millia Putri. Aku baru pertama kali melihat tubuhnya bergetar karena menangis. Erlan, pria itu sudah 2 jam disana, tidak mau beranjak bahkan semua pelayat yang hadir sudah tidak ada sejak satu jam setengah yang lalu.

"Lan," panggilku ketika berada di sampingnya.

"Vi.. Lia.. Vi.." ucapnya sesegukan.

"Jangan nangis lagi Lan, Lia udah tenang disana, ayo kita pergi Lan," aku berusaha mengajaknya kembali ke rumah.

"Gue.. Gak mau.. Gue.. Masih mau disini.. Gue.. Bodoh banget kenapa gak pernah sadar kalau dia mengidap kanker lambung... Gue bodoh Vi.. Gue bego.."

Aku hanya dapat menghela nafas mendengarnya. Apa surat dan rekaman ini aku berikan sekarang.

"Aku punya ini buat kamu, enam belas hari sebelum kematiannya dia sempat memberikan aku surat sama rekaman yang dibuat Lia ini, dia minta aku untuk sampaikan ini padamu setelah dia meninggal," kataku setelah berjongkok untuk menyamakan dengan tubuhnya.

"Dia udah tenang Lan, kamu jangan menangis terus, kasihan dia jika tahu kamu menangis seperti ini, dia pergi karena Tuhan sayang dia, Tuhan tidak ingin melihat Lia semakin kesakitan," aku berusaha menguatkannya seperti kata Lia padaku.

Ah, Lia kasihan dia, apa aku harus jujur semuanya soal kejadian itu, aku tidak tega melihatnya terpukul seperti ini.

----

Flashback On

"Lan, aku lagi di restoran sushi di mall seberang kantorku dan aku lihat Lia disini juga makan sama cowok, mereka mesra banget... Aku serius itu Lia, apa jangan - jangan dia selingkuh... Tapi, aku lihat sendiri.. Oh, oke aku tunggu kamu, cepat kamu kesininya sebelum mereka pergi," kataku mengakhiri panggilan tersebut.

To : Chubby

Erlan akan menuju kesini.

Aku mengirimkan pesan pemberitahuan tersebut.

From : Chubby

Ok! Rencana kali ini harus berhasil jangan sampai gagal lagi.

Balas orang tersebut karena ini rencana kedua setelah sebelumnya gagal.

"Mereka dimana Vi," setelah 20 menit menunggu Erlan datang tanpa ada basa - basi langsung to-the-point.

"Mereka disana," kataku menunjuk ke arah Lia dan seorang pria yang berada di pojok restoran tersebut.

"Gak mungkin, Sivia, gak mungkin dia itu Lia," Erlan terlihat terkejut melihat tangan kekasihnya di genggam oleh pria yang tidak dikenalnya dan sesekali di cium tangan tersebut.

"See, kamu lihat sendiri kalau itu Lia dan kalau kamu masih tidak yakin, kita datangi saja mereka," aku berdiri menarik lengannya agar lebih meyakinkan dia.

Done!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang