Kata teman-teman di sekolah, rumah besar di pinggir kampung, yang terbuat dari kayu itu, yang selalu kelihatan gelap itu, yang halamannya luas sekali tapi tidak ada yang berani bermain bola di sana itu, adalah rumah hantu. Belum genap sebulan aku pindah ke kampung ku di Desa Brengosan karena ayah sudah tidak bekerja di kota lagi, namun sudah segudang cerita seram yang aku dengar tentang rumah tersebut.
Irul bilang yang tinggal di sana adalah nenek sihir. Si Robi pernah lewat di belakang rumah itu sepulang mengaji malam hari, dan dia bersumpah mendengar suara tangis kuntilanak. Cerita Fatma lebih seru lagi, dia dengar dari anak kelas enam yang dengar cerita ini dari teman kakaknya, bahwa dulu rumah itu adalah milik pensiunan Belanda yang hobi mengumpulkan benda-benda mistis. Salah satu kutukan benda kuno tersebut terlepas dan menghantui seisi rumah. Siapa pun yang masuk ke sana akan dikutuk!
Bukan nya sok berani, tapi aku merasa perlu untuk membuktikan sendiri desas desus ini. Makanya sudah seharian aku nangkring di atas pohon mangga di pekarangan rumah misterius tersebut. Tadinya aku ingin mengajak Irul, anak pertama yang aku kenal di sini. Tapi dia tidak bisa karena harus membantu ayahnya di sawah. Ayahku sendiri sedang sibuk membangun pondokan kecil di sebelah rumah Mbah. Ayah dan Ibu bermaksud membuka perpustakaan sekaligus toko buku kecil-kecilan di kampung ini. Koleksi buku ayah memang banyak sekali. Aku kadang membaca beberapa sesekali. Ayah dulu bekerja di surat kabar, kerjaannya mencari berita. Dari diri beliau lah aku mendapat pelajaran kalo sesuatu itu harus dibuktikan sendiri terlebih dahulu. Aku ingin seperti Conan yang membongkar kasus misteri dalam komik detektif yang suka aku baca.
"Kriuutttt"
Eh, pintu depan rumah hantu itu tiba-tiba saja terayun membuka. Aku menyipitkan mata untuk mempertajam penglihatan. Ada seorang, atau sesuatu, yang melangkah keluar dari dalam rumah. Aku tidak yakin dengan apa yang aku lihat. Sepertinya aku perlu untuk memakai kacamata. Karena yang aku lihat adalah seorang nenek yang membawa boneka rajut yang sangat besar. Seukuran anak manusia!
' Itu boneka bukan ya? Aku harap sih boneka.... Tapi.....
Alamak! Nenek itu melihat ke arahku!
Kabuuuurrrrrrrrr!!!
Aku terjatuh dari pohon dan segera mengambil langkah seribu.
******
Besoknya, sepulang sekolah, aku sudah dalam posisi berjongkok di bawah salah satu jendela di sisi rumah tersebut. Kalo ayah mengajariku tentang jangan mudah percaya pada apa yang belum betul-betul kulihat, ibu selalu berpesan kepadaku agar jangan jadi orang yang gampang menyerah. Aku mengendap-ngendap mendekati rumah ini. Sulit juga, karena lututku yang berdarah karena jatuh semalam terasa perih jika ditekuk.
"Hey Alif, terlalu dekat nih. Nanti kita ketahuan gimana?" suara cemas Irul terdengar dari belakangku.
Kali ini aku mengajak Irul dan Santi. Mereka berdua penasaran setelah aku menceritakan pengalamanku. Menurut Santi, yang aku lihat kemaren adalah boneka tempat nenek sihir memerangkap jiwa anak-anak kecil. "Kalo ketangkep, kowe tanggung jawab yo, Lif", katanya setengah mengancam.
"Kalo takut, kalian tunggu saja di balik pohon itu" godaku sambil nunjuk ke pohon mangga tempatku bersembunyi kemaren. "Pokoknya aku mau masang kamera web ini diam-diam, biar kita bisa mengintai dalam rumah itu dari laptop".
Toh sebenarnya aku takut juga. Tapi bener kata Ibu, takut itu enggak usah dipikirin. Dan untung juga sih aku membawa Irul dan Santi. Ketakutan mereka membuatku sedikit lebih berani. Aku merasa rasa takutku sudah diwakili oleh mereka hihihi.
YOU ARE READING
Rumah Sulam
General FictionKata teman-teman di sekolah, rumah besar di pinggir kampung, yang terbuat dari kayu itu, yang selalu kelihatan gelap itu, yang halamannya luas sekali tapi tidak ada yang berani bermain bola di sana itu, adalah rumah hantu. Belum genap sebulan aku pi...