09 Agustus 2009
Waktu berjalan begitu cepat jam menunjukan pukul 05.00 dini hari.
Ruang tunggu ICU hari ini terasa begitu pengap rasanya tidak ada oksigen yang masuk sedikitpun dalam ruangan ini. Suster kembali menginformasikan melalui telepon genggam rumah sakit bahwa keluarga ibu ellen untuk memasuki ruang ICU secepatnya.Gue berjalan menuju ruang ICU dimana tempat bunda dirawat Jantung gue berdebar tak beraturan nafas tersenggal rasa takut menyeruak difikiran gue dengan langkah gontai gue memasuki ruang ICU.
Ketika gue masuk tatapan gue langsung terhenti dan tertuju pada bunda yang sudah terbaring lemah. semua alat terpasang begitu menyakitkan buat gue melihat kondisi bunda saat ini dalam keadaan koma,dokter yang menangani bunda menghampiri gue dan menjelaskan semua keadaan bunda saat ini.
"apa tidak ada keluarga lain yang menunggu selain kamu ?"
"Saya anak sulung dikeluarga dok, ayah saya sudah tiada"
Dokter yang menangani bunda tatapannya saat ini terlihat begitu iba kepada gue dan itulah hal yang paling gue benci.
"Bagaimana kondisi bunda saya sekarang dok ?"
"Bunda kamu saat ini dalam kondisi kritis, saya semaksimal mungkin akan berusaha membantu kamu ikut bantu berdoa yaa nak" dokter ryan menepuk pundak gue seraya menenangkan akan tetapi apa yang diucapkannya rasanya seperti petir yang menyambar dan memberikan efek yang kuat untuk gue.
Dipinggir bad tempat bunda terbaring saat ini Tatapan gue kosong melihat kearah bunda, bunda yang selama ini merawat gue dan adik-adik bahkan menjadikan diri bunda sekaligus menjadi ayah.
Menggantikan sosok ayah yang menjadi tulang punggung keluarga tanpa pernah merasa lelah walau dalam letih sekalipun bunda tetap tersenyum buat gue dan adik-adik. Bahkan membayangkan hidup tanpa bunda disisi gue rasanya begitu hancur.
"Bunda, abang disini disamping bunda. Bunda yang kuat ya untuk abang dan adik-adik" air mata gue tumpah tanpa peduli gue dianggap sebagai cowok yang cengeng atau sok mellow intinya gue takut untuk kehilangan bunda.
Dokter setengah berlari kearah bad bunda dan gue terperangah saat dokter memberi isyarat "ikut saya sebentar" gue masih diam membisu cara kerja otak gue saat ini berjalan begitu lambat sehingga gue tak mampu untuk berfikir.
"Kita perlu bantuan alat pentilator untuk membantu jalan bernafas bunda kamu dan untuk itu kami perlu persetujuan dari pihak keluarga untuk memasang alat tersebut"
"Resikonya bagaimana dok ?"
"Yang pertama bisa saja saat alat dipasang pasien tidak kuat menerima alat tersebut dan yang kedua sebaliknya ketika alat dipasang bunda kamu tidak kuat bantuan alat, semua keputusan ada dipihak keluarga"
Fikiran gue saat ini sudah kacau balau "Lakukan yang terbaik untuk bunda dok, saya setuju untuk pasang alat"
"Baik kalau begitu kamu harus tanda tangan terlebih dahulu"
Dengan mengucap bismillah gue tanda tanganin surat tersebut dan dokterpun memerintahkan perawat untuk memasangkan alat bantu untuk bunda bernafas.
Gue keluar ruang ICU sebentar untuk menghubungi kedua adik gue saat ini pukul 05.30 pasti mereka sedang bersiap untui berangkat sekolah.
"Hallo dek"
"Iya bang ? Bunda nggak apa-apa kan bang ?"
"kamu kerumah sakit sekarang ya ajak zira juga naik ojek aja dari rumah hati-hati abang tunggu dirumah sakit sekarang."
Selesai gue berbicara, gue melangkah masuk keruang ICU lagi untuk melihat kondisi bunda. Tidak sampai 1jam kedua adik gue datang, gue minta izin agar kedua adik gue diperbolehkan masuk keruang ICU karena hanya 2orang saja yang boleh masuk. Alhamdulillah dokter memperbolehkan kedua adik gue untuk masuk.
"Bunda ini zira bunda disamping bunda ayo buka mata bunda" zira sudah terisak disamping gue.
"Bunda kuat yaa untuk aku adek dan abang aku takut bun nanti kita sama siapa kalau nggak ada bunda ? Ayah sudah nggak ada bun masa bunda mau pergi ninggalin kita juga" Ucapan yang keluar dari mulut dea membuat hati gue merasa tertampar.
Gue peluk kedua adik gue dengan erat gue harus menguatkan mereka, gue ajak mereka keluar sebentar dari ruang ICU.
"Abang zira nggak mau bunda pergi"
"Kita berdoa sama-sama yaa dek agar bunda melawati masa kritisnya" gue mengusap pundak zira adik gue yang terakhir.
"Kamu tunggu disini sebentar abang mau bicara sam kak dea ya dek"
Berbeda dengan zira, dea jauh lebih tegar walaupun hati dia sama hancurnya dengan gue dan zira tapi dea selalu mengumpat dibalik sifat dia yang cuek. Gue menghampiri dea yang sedang duduk dipojok ruang tunggu ICU.
"Dek"
"Iya bang"
"Berdoa untuk bunda ya" gue didepannya mensejajarkan posisi gue dan dea.
"Bang aku takut bang"
Abang juga sama takutnya dek
Tapi gue urungkan jawaban gue itu "hussst nggak boleh takut masih ada abang dan zira"
"Aku mengerti bang tapi..,"
"Tapi apa ?"
"Bagaimana kehidupan kita kedepannya kalau bunda nggak ada bang, siapa yang peduli sama kita ? Tante kila ? Huhh aku nggak sudi jika dirawat sama dia bang" Gue terdiam dengan ucapan yang dilontarkan dea
"Abang yang akan ngurus kamu dan zira kamu tenang ya dek jangan takut"
Zira berlari menghampiri gue yang duduk dipojok ruang tunggu dengan nafas tersenggal zira bicara
"Abang dipanggil dokter sekarang"
Gue bertiga akhirnya berlari memasuki ruang ICU dan melihat langsung keadaan bunda yang semakin memburuk, gue menghampiri dokter yang sedang berada didekat bunda
"Tim medis sudah semaksimal mungkin menanganinya tapi allah berkehendak lain nyawa bunda kalian tidak tertolong"
Dea dan zira sudah berteriak menanggil nama bunda sedangkan gue diam terpaku seakan gue nggak bisa mencerna apa yang dokter katakan. Hancur mungkin kata ini yang tepat untuk menggambarkan perasaan gue saat ini sakit akan kehilangan sosok yang sangat berharga dalam hidup gue. Sosok yang sabar dan penyayang bagi hidup gue sosok yang kuat tidak pernah sedikitpun mengeluh dalam hidup. Dan saat ini guelah yang akan menggantikan sosok bunda bagi adik-adik gue.
"Bunda bangun bunda"
"Bunda jahat ninggalan zira!"
"Bunda zira mau masuk SMA katanya janji mau liat zira ikut olimpiade matematika bunda ayo bangun bunda"
"Bunda terimakasih banyak untuk semua pengorbanan bunda selama ini untuk dea zira dan abang"
Tangis gue pecah gue peluk kedua adik gue dan memberikan ketenangan untuk keduanya meskipun gue sendiripun belum tentu mendapatkannya.
"Bunda lelah ya menghadapi abang ? Maafin abang bun belum bisa sepenuhnya memberikan yang terbaik untuk bunda masih merepotkan bunda terimakasih banyak bunda sudah menjadi seseorang yang mengerti abang selama ini merawat abang higga abang besar bunda yang tenang disana ya abang janji akan menjaga dea dan zira"
Harapan gue untuk membawa bunda pulang dengan dalam keadan sehat kini hanya ada dibayangan gue saja. Allah lebih sayang dengan bunda selamat jalan bunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hallo Senja!
Historia CortaAku menghirup udara sore hari yang terasa begitu hampa bagiku. Pemandangan senja hamparan laut dan suara gemercik ombak menyergap seluruh indraku. Beginilah caraku menenangkan diri. Cara untuk melenyapkan rasa sakit dan kehilangan. Rasa yang terus m...