I : Bayangan samar

18 5 8
                                    

Aku tidak tahu, kenapa aku harus ada di tempat ini. Duduk diam mendengarkan tua buncit berkumis melayangkan pembelaan diri, melindungi diri mereka dengan kekuasaan yang mereka miliki. Aku tidak peduli akan hal itu. Hanya saja yang membuatku muak adalah, ketika aku tahu mereka memang bersalah dan masih kekeh membela diri. Membantah semua bukti yang ada dengan Harta. Ck, memuakkan. Jika mau, sekarang juga, aku bisa mengambil harta yang ia angungkan itu. Beruntungnya aku terlalu malas.

"Kamu ada di sana malam itu! Semua bukti di sini mengarah padamu." salah satu detektif yang bertugas kala itu terus menyudutkan pertanyaan dengan bukti di atas meja. Aku hanya melihat dari balik kaca.

Pria tua itu terus menyangkal, "sudah kubilang. Orang sibuk sepertiku tidak punya waktu untuk memenuhi panggilan kalian! Dan sekarang kalian bilang aku tersangkanya? Kalian sudah gila?!."

"wah, orang ini banyak bicara, ya. Kau mau mati, hah?!." bentak Detektif Ardian.

Bodoh sekali. Tidak ada gunanya kau membela diri di hadapan pamanku. Ardian dikara Gerhana. Seorang detektif dengan kemampuan analisa yang luar biasa. Tentu saja seorang detektif harus begitu. Tapi, lain dengannya. Dari gestur tubuh, wajah, suara, bahkan deru napasmu akan menjadi bumerang bagimu di hadapannya. Lalu, kenapa ia masih memerlukanku di sini? Itu hanya caranya memikatku agar aku mau melanjutkan study sepertinya.

Dan satu-satunya alasan aku bertahan sejauh ini, adalah karena pria cerewet itu terus saja memaksaku ikut. Kabur? Jangan harap aku bisa kabur darinya. Dulu pernah sekali, aku menolak ikut mengabaikan ajakannya. Kau tahu apa yang terjadi? Bukan hal yang memerlukan luka dan darah, hanya menghancurkan koleksi Action Figure milikku yang sangat berharga. Aku seorang gadis, kenapa aku tidak mengoleksi boneka Barbie yang cantik, menghiasi kuku mereka, menata pakaian dan rambut indah mereka? Apa menurutmu aku mau membuang waktuku untuk hal seperti itu? No, absolutly No. Tapi, dia tetaplah pamanku yang baik. Setelah menghancurkan dia akan menggantinya kembali entah sesulit apa itu asalkan aku mau ikut. Sangat bertanggung jawab.

"Berapa kali Om bilang sama kamu untuk menerima beasiswa itu. Daripada kamu kelayapan tiap hari, membuang waktu di PC  room menatap layar persegi itu hingga lupa waktu! Kau baru saja kembali dari Amerika, dan ini yang Om dapatkan?!." tebakanku terwujud, Om Ardi mulai menceramahiku setelah selesai menginstrogasi.

Tanpa mengalihkan pandangku dari iphone aku menjawab malas, "dan berapa kali aku udah bilang sama Om Ardi, aku enggk mau... Lah, lah lah, kok main ambil gitu sih Om?." kataku protes saat Om Ardi mengambil iphoneku.

"Terima atau ucapkan selamat tinggal pada semua boneka aneh itu, dan juga ini. Dengar, kali ini Om serius, Alita. Enggak kuliah enggak ada fasilitas. Kalau bisa, pulang kerumah Mamamu, jangan tinggal lagi di rumah Om!." ancam om Ardi sembari menyodoriku secarik kertas pendaftaran yang sudah diisi sebagian. Hah ini sangat membosankan, apa salahnya menikmati hidup, kenapa aku harus mempelajari apa yang sudah aku ketahui?.

"Satu hal lagi, kamu di berkahi kemampuan luar biasa yang tidak dimiliki orang kebayakan, Alita. kamu beruntung-"

"aku tidak pernah meminta kemampuan ini Om. Beruntung? Apanya? Melihat sesuatu yang bukan urusanku? Melihat sesuatu yang aku tidak inginkan? Aku bahkan harus pura-pura tersenyum saat aku tahu apa yang ada di benak mereka hanyalah hujatan terhadapku!." sergahku cepat, aku benci harus membahas masalah yang sama tiap harinya. Mengambil tas ranselku dan keluar dari ruangan.

"Alita.. Om tidak bermaksud-" Om Ardi mencoba mengejarku, tapi tidak kupedulikan. Membanting ransel itu sembarang, dalam mobil. Mengendarai Ferrari J50 salah satu koleksi Om Ardi yang ia pinjamkan padaku. Kubanting stir kemudi ke sebuah hotel. Memesan kamar untuk beberapa malam.

Alita [Wherever, I Can See]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang