2. Tega

13 2 1
                                    

"Jangan komentar!" Inggrid melempar tas sekolahnya asal yang malah terjerembab di lantai. Inggrid nggak peduli. Bahkan saat satu sekolah mengerutkan keningnya karena melihat Inggrid jalan begitu santai dengan kaca mata hitamnya pun ia nggak peduli.

Awalnya, cewek yang sekarang sedang menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi itu merasa takut ditertawakan dan jadi bahan omongan satu sekolah. Tapi, pemandangan pertama yang ia lihat di depan gerbang sekolah cukup membuat emosinya memuncak sampai ke ubun-ubun.

Arian dan Risha! Sepagi ini mereka sudah mengumbar kemesraan dengan bergandengan tangan satu sama lain. Apa-apaan ini! Dulu waktu Inggrid masih bersama Arian saja nggak pernah pegangan tangan di depan umum apalagi sekolah.

"Lo abis kesambet di mana, Grid?" Weny yang sedang asyik bermain Ludo di ponselnya sontak berteriak tepat di hadapan Inggrid setelah melihat temannya datang dengan kaca mata hitam bertengger di hidung.

"Gue nanya, Grid. Malah diam." Nggak ada jawaban dari Inggrid. Tapi, Weny paham betul temannya ini sedang dalam kondisi yang nggak baik. Terlihat dari dada Inggrid yang naik turun dalam tempo cepat dan... setetes air mata baru saja mendarat di pipi mulus Inggrid melewati kaca mata hitamnya.

"Grid, lo nangis?" Weny menepuk pelan bahu Inggrid.

"Grid, kenapa, sih? Ada masalah? Kenapa? Cerita sama gue!"

Inggrid masih diam. Bibirnya kelu tidak mampu mengucapkan satu kata pun. Hatinya terlalu sakit, sampai bernapas pun dirasanya sulit.

"Grid, lo mah bikin gue khawatir! Ada apa?"

Inggrid mengatur pola napasnya. Menghirup oksigen sebanyak mungkin dan menghembuskannya perlahan.

"Arian," kata Inggrid pelan setelah merasa cukup baikan.

"Arian kenapa?"

"Gue putus sama Arian, Wen!"

"Lo putus? Ya Allah, jangan becanda dong, Grid!" Weny terkekeh pelan.

"Gue serius! Dan lo tahu apa yang bikin gue putus sama dia? Risha, Wen, Risha!"

"Maksud lo?"

"Arian selingkuh sama Risha, Wen. Selama ini Risha khianatin gue!"

"Makin ngaco! Lo kesambet beneran apa gimana, deh?"

"Gue serius! Sumpah, gue nggak bohong!" Suara Inggrid bergetar. "Gue lihat mereka lagi kissing waktu gue ke rumah Arian!" Tidak kuat lagi, tangisan Inggrid semakin pecah. Membuat beberapa pasang mata di kelas XI-IPS 1 menatapnya ingin tahu.

Weny menatap Inggrid lekat. Mencari kebohongan di wajah Inggrid. Tapi, apa Inggrid terlalu cerdas sampai bisa menangis hebat di hadapannya hanya untuk berbohong.

Kalau Inggrid benar, kenapa Risha bisa setega itu. Mereka bertiga berteman dekat. Bahkan terlalu dekat untuk saling tahu satu sama lain.

Apa memang benar, orang terdekat adalah orang yang paling berpotensi menorehkan luka terdalam dibanding orang lain.

🌵🌵🌵

"Njir! kenapa Tatjana Saphira nggak pernah jelek."

"Rel!"

"Dia kalo mandi berendem di air cucian beras kali, ya. Mulus gila kayak pantat bayi."

"Rel!"

"Jadi pengen ngelus rambutnya. Ini kalau gue pegang rambutnya pasti berasa kayak megang..."

"Gue gampar lo, Rel!"

"Ets! Emang lo pacarnya Tatjana sampai mau gampar gue kalau gue elus rambutnya!"

"Bukan itu, Farel cerdas. Duh, lo nggak ngerti suasana banget, sih!"

"Apaan bego?" Farel yang sejak 10 menit lalu sibuk menelusuri foto-foto Tatjana Saphira di aplikasi Instagramnya langsung menolehkan pandangannya menatap Albi.

Bukannya menjawab pertanyaan Farel, Albi justru membalikkan tubuhnya menghadap ke belakang, di mana seorang cowok duduk bersender dengan tatapan menerawang ke luar jendela.

"Lo tumben diam, Rash. Biasanya udah heboh mintain bekal Geri."

Pletak!

"Anjir! Apaan sih, Bi!" Farel mengusap kepalanya yang baru saja dijitak Albi. "Salah mulu gue."

"IQ lo berapa, sih? Temen lagi galau malah ngelawak!"

"Gue nggak lagi stand up comedy kalau lo mau tau!"

Albi mengalihkan perhatiannya ke Arash yang kelihatan nggak tertarik sama sekali dengan perdebatan barusan.

"Dia bener-bener nggak ngasih kabar lagi, Rash?" tanya Albi.

Arash menghembuskan napasnya pelan. Kedua matanya menatap miris ke luar jendela. Enggan menanggapi pertanyaan Albi.

"Telepon lagi coba," kata Albi lagi.

"Main telepon-telepon aja. Lo pikir biaya telepon Jakarta-Perth seharga es kenyot."

"Mau pakai ponsel gue, Rash?" tawar Albi.

"Lo lagi. Pulsa dari mana? Wifi aja nyolong!"

"Rel, kalau lo masih ngomong, gue aduin lo ke anak-anak kelas tentang boxer mickey mouse lo itu!"

"Galak amat, tupat sayur!"

"Gue nggak tau," kata Arash tiba-tiba. "Bener-bener nggak ada kabar dari Sesha. Dia hilang gitu aja."

"Lo udah coba telepon?" Kali ini Geri angkat suara. Cowok berkaca mata yang sedari tadi sibuk mengerjakan soal Bahasa Inggris itu mulai merapihkan meja belajarnya.

"Udah. Tapi, nggak ada hasil."

"Dia nggak mungkin diculik alien 'kan?"

"Ya Allah, Rel!"

"Iya-iya gue diam."

"Saran gue, Rash, lo hubungin dia terus. Jangan cuma lewat telepon, tapi lo hubungin juga ke semua media sosialnya. Gimana pun juga lo butuh penjelasan. Dia nggak bisa mutusin gitu aja tanpa ada alasan yang jelas."

"Gue udah hubungin ke semua media sosialnya, Ger. Tapi tetap nihil!" Arash megerang frustasi. Tangannya mulai mengacak rambutnya sendiri yang memang sudah berantakan karena belum disisir.

"Jangan-jangan..." Farel mengacungkan jari telunjuknya di hadapan ketiga temannya. Membuat Albi, Geri, juga Arash menatap ke satu titik yang sama.

"Jangan -jangan apa?" tanya Geri.

"Nggak usah ngomong yang macem-macem, Rel!" Albi mengepalkan tangan kanannya, bersiap menjitak kepala Farel kalau yang keluar dari mulutnya hanya omongan nggak penting.

"Dengar gue dulu, Bi." Farel menahan kepalan tangan Albi. "Gue tuh pengen ngomong, jangan-jangan Sesha di sana selingkuh!"

"Selingkuh?" tanya Geri dan Albi serempak.

"Iya selingkuh."

Kening Arash mengerut. Kedua matanya memicing menatap Farel tajam. "Atas dasar apa lo nuduh Sesha selingkuh?"

"Gue nggak nuduh. Tapi, ya lo pikir aja kenapa dia tiba-tiba putusin lo? Padahal sebelumnya kalian baik-baik aja. Nggak ada berantem, nggak ada ribut, nggak ada badai topan puting beliung tiba-tiba minta putus," jelas Farel.

"Kali ini gue setuju sama Farel, Rash!" sahut Albi.

Arash memutar bola matanya. "Nggak. Sesha nggak mungkin selingkuh!"

"Kenapa nggak mungkin? Selagi ada peluang, selalu ada kemungkinan," tambah Geri seraya melepas kaca matanya.

Arash benci ini. Arash benci mengakui perkataan teman-temannya bisa jadi benar. Arash nggak pernah berpikir Sesha setega itu. Tapi, kalau kenyataan yang Arash hadapi seperti ini, ditinggal tanpa ada penjelasan dan kabar, Arash harus apa?

🌵🌵🌵

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 03, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang