Tapak Kaki
Angin malam sudah menyatu dalam tulang Irfandy Halid, sosok tinggi dan wangi namun harum parfum pasarannya sudah tak tercium indra lagi, karena keringat yang bercucuran di seluruh tubuhnya. Di tengah keramaian pasar malam ia menjual balon, tak jarang beberapa orang mengenalnya sebagai salah satu siswa Sma Negeri Karya Bangsa Makassar, tapi tak muncul sedikitpun di dirinya rasa malu.
Semua ini terjadi karena orang tuanya yang meninggalkan tanggung jawab untuk memberikan uang jajan. Bukan hal yang salah pula karena biaya sekolah bukan hanya untuk dirinya seorang tetapi harus dibagi untuk lima saudara lainnya.
Saat memakai seragam putih abu-abu tahun pertama ia memutuskan untuk berjualan balon di pasar malam, pekerjaan yang memalukan untuk remaja berumur 16 tahun, ketika berjualan terkadang balon yang ia jual pecah saat keramaian pasar memuncak namun hal tersebut tak membuatnya putus asa. Hal ini dilakukan Irfandy Halid untuk menutupi uang jajannya yang jauh dari kata cukup.
Satu tahun kemudian kelahiran dua saudari kembarnya membuat ekonomi keluarganya semakin sulit, keputusan orang tuanya untuk benar-benar menghentikannya sekolah telah sampai di telinganya. Hal yang membuatnya bimbang, bukan ia tak mengerti keadaan ekonomi keluarganya tapi ia juga tak mau terpuruk dengan kebodohan di masa depan nantinya, sehingga untuk pertama kali ia terpaksa harus menentang perintah orang tuanya.
Nama sosok siswa cerdas dan berprilaku baik Irfandy Halid terpampang kembali di mading informasi SMAN Karya Bangsa, namun sayangnya bukan sebagai daftar siswa yang menerima penghargaan atau sebagainya, namanya terpampang jelas sebagai siswa yang menunggak SPP sekolah selama 6 bulan. Uang hasil dari jualan balonnya tak cukup membayar uang SPP yang cukup besar. Tapi hasil penjualan balon dari pasar malam yang satu ke pasar malam lainnya yang sedikit, itu tak merubah keputusannya untuk melanjutkan sekolahnya. Karena hasil penjualan balon tak cukup membayar uang SPP sekolah ia terpaksa mengambil uang tabungan SPP sekolahnya untuk di jadikan modal usaha, dengan uang sebesar Tujuh Puluh Lima Ribu Rupiah ia membeli poster anak-anak lalu di jualnya kembali kepasar malam. Rezeki memang tak terduga poster teletubies yang ia jual sangat laris karena kartun anak-anak itu sedang diminati oleh kaum-kaum mungil di Indonesia.
Modalnya telah bertambah dengan untung, uang SPP hampir terbayar, kurang Dua Puluh Ribu Rupiah lagi hingga uang SPP sebesar Seratus Ribu Rupiah di lunasinya, agar namanya lenyap untuk sementara waktu di mading informasi sekolahnya.
Saat di sekolah surat untuk wali murid telah berada di genggamannya bukan untuk pertama kalinya ia memegang surat tagihan SPP sekolah yang rencana akan ia buang saat perjalanan pulang sekolah nanti. Ketika matahari telah turun ke singgasananya dengan semangat ia berangkat ke pasar, dengan keyakinan besar bahwa malam nanti ia bisa mengumpulkan keuntungan sebesar Dua Puluh Ribu Rupiah, sosok berkaki panjang melangkahkan kakinya ke pasar dengan membawa balon ditangan kanan dan poster di tangan kirinya, tak lama kemudian poster dan balonnya telah tergantung dan tersusun rapi di tempat berukuran dua kali dua meter ditengah pasar malam. Setelah lama menunggu para anak-anak datang berebut balon dan poster berharga Dua Ribu Rupiah.
Peluh memenuhi pelipisnya namun di tengah kelelahannya itu terukir jelas senyum di bibir keringnya sebab balon dan posternya laris terjual dan ia berhasil mendapatkan keuntungan Dua Puluh Ribu Rupiah untuk membayar uang SPP sekolahnya besok. Ke sekolah membawa uang sebesar Seratus Ribu Rupiah hasil jerih payahnya sendiri, membuatnya bangga, setibanya di sekolah ia segera bergegas menuju ruang komite sekolah ia membayar lunas uang SPP sekolahnya. Melewati mading sekolah, ia menoleh sejenak dan tersenyum sebab namanya telah tak nampak di dinding yang di penuhi kertas tersebut.
Sepulang sekolah ia menuju pertokoan besar di tengah kota ia berniat membeli poster dan balon untuk jualannya malam ini kakinya lebih terasa ringan hari ini karena uang SPP sekolahnya telah terbayar lunas. Sesampainya di toko ia membeli tiga puluh lembar poster dengan semua sisa modal yang ia miliki, setelah itu ia bergegas pulang kerumah, menghilangkan rasa pegal di seluruh tubuhnya dengan berbaring di kasur kapuk miliknya.
Walaupun ia menentang keputusan orang tuanya tetapi orang tuanya tak pernah menentang keputusan Fandy untuk bersekolah dengan hasil kerja kerasnya, sejujurnya orang tuanya juga ingin Fandy berhasil di masa depan.
Dengan membawa poster yang tadi siang ia beli , dengan senyum dan langkah kaki lebar ia berjalan menuju pasar yang terletak kurang lebih satu kilometer dari rumahnya. Sesampainya di pasar ia meletakkan posternya dan menutupinya dengan plastik karena azan magrib telah berkumandang, ia memang sosok pekerja keras tetapi ia tak lupa akan adanya Allah di dalam hatinya, dengan langkah yang tergesa-gesa ia berjalan menuju mesjid yang tak jauh dari pasar malam, mengambil wudhu lalu berserah diri kepada sang khalik, menyerahkan seluruh masalahnya kepada sang maha kuasa.
Saat shalat sunnah magrib ia tak sadar hujan turun begitu deras setelah shalat ia bergegas menuju tempat jualannya menerobos hujan yang membasahi dirinya tetapi semuanya sudah terlambat, plastik untuk menutupi posternya terbang di bawa oleh angin sekarang poster jualannya telah menjadi bubur kertas kembali.
Modalnya sudah lenyap, poster yang tadi siang ia beli telah basah, jualannya hanya tersisa 15 buah balon, hal yang ia rintis dari nol kembali ke nol lagi. Rasa sesak memenuhi dadanya, lelah tiba-tiba menyeruak ke seluruh bagian tubuhnya. Dengan lesu ia mengatur sisa-sisa balonnya, tempat kecil di pasar malam itu semakin terlihat sepi di antara keramaian. Berjalan di tengah malam menuju rumahnya, di dalam saku celananya hanya terdapat uang sebesar Tiga Puluh Ribu Rupiah hasil jualan lima belas buah balon di pasar malam. Semua kehidupannya menjadi buram sekarang, impianya untuk melanjuti sekolahnya hingga ia menjadi Sarjana Ekonomi seakan-akan menghilang ketika secercah harapan mendatanginya. Karena terlalu lelah dengan semuanya ia akhirnya memutuskan untuk terlelap untuk sementara waktu.
Matahari telah terbit, fandy bangun dari tidurnya dengan lesu berjalan menuju kamar mandi bersiap menuju sekolah. Berbeda dengan hari kemarin, sekarang ia menuju sekolah tanpa membawa sepeser uang pun di saku celananya. Tetapi hal yang ia syukuri ketika ia mengingat SPP sekolahnya telah ia bayar kemarin. Rasa putus asa hampir menghampiri hidupnya setelah uang sebesar Tiga Puluh Ribu Rupiah yang dimilikinya digunakan untuk membayar buku pelajaran, semua usahanya benar-benar terhenti. Setiap hari Irfandy Halid berangkat ke sekolah tanpa uang sepeserpun sebab ia tak memberi tahu orang tuanya tentang keadaan usahanya.
Beberapa kali ia tak pergi ke sekolah, sosok yang cerdas perlahan-lahan berubah menjadi pemalas sebab ia terlalu lelah akan kehidupannya. Setelah beberapa hari alpha dari sekolah ia berangkat sepagi mungkin, jarak sekolah dari rumah yang cukup jauh membuatnya harus menghindari panasnya terik matahari. sesampainya di sekolah seperti siswa lainnya ia mengikuti pelajaran seperti biasa. Saat bel istirahat ia menuju lapangan basket, kaki tingginya melompat dan memasukkan bola kedalam ring, basket merupakan salah satu caranya melupakan masalah yang dihadapinya. Saat semua siswa sedang menyantap makanan di kantin, Irfandy berada di kelas dengan buku ekonomi di depannya, membaca segala yang dapat membantunya mendapatkan uang.
Setelah pulang sekolah ia melangkahkan kakinya menuju pasar tempat dahulu ia menjual balon, sekarang tempat berukuran dua kali dua meter itu telah diisi oleh penjual hiasan rambut anak-anak. Saat di pasar ia menuju ke tempat kenalannya mencari pekerjaan yang bisa ia kerjakan apapun itu selagi halal, hingga akhirnya ia pun menjadi salah satu karyawan penjual jeans dengan gaji Lima Ribu Rupiah sehari. Dengan Lima Ribu Rupiah itu ia bersekolah, membawa uang jajan sebesar Tiga Ribu Rupiah sehari, uang jajan yang hanya cukup untuk membeli segelas air dan sepotong pisang goreng.
Tiga bulan kemudian, ketika gaji yang ia kumpul sebesar Seratus Ribu Rupiah ia berniat membuka usahanya kembali namun apa dayanya ketika pihak sekolah mengharuskan kepada siswa tahun ajaran akhir membayar biaya ujian sebesar Delapan Puluh Ribu Rupiah.
Kembali harapannya menguap entah kemana karna persoalan biaya, setelah membayar uang ujian ia mulai belajar dengan tekun, membawa buku di tempat kerjanya di pasar, mencari waktu luang untuk setidaknya membaca dua sampai tiga paragraf tulisan di buku yang ia bawa. Ujiannya berjalan lancar, ia keluar sebagai salah satu siswa berprestasi namun ia tak bisa melanjutkan sekolahnya, ia harus mengumpulkan biaya pendaftaran terlebih dahulu dengan bekerja sebagai karyawan di pasar.Satu tahun bekerja, uang pendaftaran terkumpul. Ia mendaftarkan diri di fakultas ekonomi salah satu Universitas Swasta di Makassar. Sisa biaya pendaftaran ia pakai membuka usaha kaos pria. Berjualan kembali di pasar yang sama namun, ditempat yang lebih luas. Sehabis kuliah pagi ia selalu berbelanja dan ke pasar untuk mengatur jualannya.
Hanya butuh waktu setahun untuk membeli motor dari hasil usahanya, kini ia pun memperkerjakan seorang karyawan seorang murid SMA seperti dirinya dulu, murid yang mencari uang untuk meringankan beban orang tua. Pria kurus tinggi itu kini telah menapaki masa depan cerahnya. Usaha yang ia jalani dapat dibilang sukses, biaya kuliahnya dapat terbayar sekarang kerja kerasnya selama ini membuahkan hasil. Berhasil mencapai cita-citanya menjadi sarjana ekonomi membuat kehidupannya berjalan sangat lancar, ia bahkan membiayai pendidikan adik-adiknya, dan membantu ekonomi keluarga.
Menyemangati adik-adiknya untuk bersekolah dan berusaha mengubah sudut pandang orang tuanya tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anak. Ia memang pria yang baik, bagai pahlawan di mata keluarganya. Berjalan dengan cahaya terang, kini ia bukan lagi remaja yang putus asa. fandy telah menjadi pria berusia 25 tahun yang mapan, dengan kesuksesan ditangannya. Hingga rencana berumah tangga sudah terbayang di kepala nya, memiliki keluarga kecil yang bahagia dan berkecukupan. Tapi, manusia hanya bisa berencana. Hanya Allah yang memutuskan semua. Pernikahan yang akan berlangsung 8 bulan lagi hanya menjadi angan-angan sebab Allah memberikannya cobaan Penyakit, sosok anak yang penurut, pekerja keras dan pantang menyerah jatuh sakit.
Penyakit yang membuatnya seperti orang depresi, kadang pingsan ketika kelelahan, pening ketika terkena cahaya matahari, hingga akhirnya ia di diagnosa terserang tetanus.
Ia menjalani pengobatan alternatif selama berbulan-bulan tak membuahkan hasil hingga kini tepat sudah dua bulan ia berbaring koma di rumah sakit dengan selang disekujur tubuhnya.
Saat ini seorang wanita paruh baya yang setia menemani anaknya sekarang sudah cukup merasakan kesakitan, melihat anaknya terbaring lemah tak berdaya. Ia juga sudah berusaha ikhlas melepaskan anaknya hingga sosok yang selalu ia genggam tangannya tak merasa sakit lagi.
Wanita itu menggenggam tangan anaknya lebih erat dengan sekali kali mengelus lengan putranya, walaupun mata itu masih setia menutup namun ia yakin bahwa anaknya akan mendengarkannya.
maaf, atas semuanya nak. Ibu yang tak bisa membahagiakanmu, bapak yang tak mampu mendukung keinginanmu dan semua kekurangan orang tuamu ini, maaf dan maaf hanya itu yang bisa ibu sampaikan. makasih juga telah menjadi anak yang baik, tetap berusaha walaupun keadaan keluarga sangat sulit, terimakasih telah mengingatkan tentang kesalahan ibu. Sudah cukup, kau sudah berusaha banyak hingga saat ini, lepaskan rasa sakitmu sungguh ibu sudah ikhlas sekarang dan tak ingin melihatmu kesakitan lagi ucap wanita paruh baya itu, di tengah tangisnya, anaknya mendengarkannya. wanita paruh baya itu melihat tangisan putranya yang menerobos melewati celah sempit dari mata putranya yang masih saja menutup, ia hanya mampu menghapus air mata itu walaupun air matanya sendiri pun belum bisa berhenti.
Tiga hari setelah itu, kondisi Fandy memburuk hingga semua alat medispun tak bisa menyelamatkan nya. Allah memanggil sosok yang hampir sempurna itu. Sekarang semua usaha, kebaikan dan tekadnya hanya menjadi kenangan di dalam ingatan dan hati keluarganya seperti jejak tapak kaki.Profil inspirasi :
Cerita ini diambil dari kisah nyata sosok bernama Irfandy Halid seorang yang bertempat tinggal di Makassar yang menempuh hidupnya mencari nafkah di pasar malam bongkar pasang senggol. Ketika ia telah mendapat gelar Sarjana Ekonomi ia meninggal karena penyakit tetanus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tapak Kaki
Short StoryKisah tentang seseorang yg memiliki jejak tapak kaki terdalam di kehidupan keluarga nya.