1

2 0 0
                                    

Sesuatu seperti menarikku. Aku beranjak menuju wastafel untuk mencuci muka. Bangun terlalu pagi untuk haru Minggu saat daun-daun berubah warna menjadi merah.

Aku menuruni tangga. Keadaan di luar masih gelap gulita. Aku membuka pintu menuju ruang keluarga. Kosong. Aku menatap jam dinding di ruangan itu dengan mata setengah terbuka. Jarum pendek menunjukkan angka 4 dan aku tidak perlu melihat jarum panjangnya.

Sekali lagi aku menaiki tangga. Menuju wastafel dan membasuh mukaku dengan air, lagi. Kembali ke kamar dan membuka tirai jendela. Aku akan menunggu 30 menit lagi. Saat matahari belum menampakkan diri, namun dunia sudah bersinar.

Aku berulang kali menatap layar handphoneku. Berharap 30 menit cepat berlalu. Menunggu dengan tersiksa.

Saat 30 menit yang lama telah berlalu. Kini aku berharap 30 menit itu belum berlalu. Aku takut. Aku belum siap. Aku memaksa kaki dan tanganku. Mengambil sweater rajut buatan ibuku. Lalu aku berlari menuju pintu depan dan membukanya secara perlahan. Agar tidak ada yang mendengarku pergi.

Angin dingin langsung menyentuhku hingga ke ulu hatiku. Piyamaku begitu tipis. Akan tetapi, sweater buatan ibu membantuku meski sedikit.

Aku melangkahkan kakiku. Tidak lagi berlari. Tapi kini secara hati-hati. Aku menghindari setiap ranting dan sulur tanaman yang banyak di samping rumah.

Aku menoleh ke timur. Matahari belum juga menampakkan diri, namun bagaimana dunia sudah bersinar seperti ini? Cahaya dari mana yang digunakan oleh bumi untuk menyinari dirinya sendiri?

Semakin aku menjauh dari rumah. Semakin banyak sulur tanaman yang membuat jalanku terganggu.

"Ha... Hah..." Aku bernafas dengan berat. Agar uap panas dari nafasku dapat sedikit menghangatkanku.

"Sedikit lagi. Tinggal sedikit lagi." Kakiku mulai merasakan akibat memakai alas kaki yang tipis. Aku gemetar, namun pagar itu hanya beberapa langkah lagi.

Aku menggapai gagang pagar itu. Mendorongnya hingga terbuka. Pagar itu menimbulkan suara agak nyaring hingga aku menoleh ke belakang berharap tidak ada yang mendengar.

Saat kurasa sudah aman, aku segera melangkah melewati pagar. Kemudian aku berlari. Aku ingin menemuinya. Secepat yang aku bisa.

Aku berlari hingga kini aku berada di depan air mancur biasa kami bertemu. Tetapi ia tidak ada.

"Ia sudah... pergi?"

Tiba-tiba air mataku menetes satu per satu hingga aku tak bisa lagi membendung air mataku. Aku menangis sekeras-kerasnya. Aku tidak peduli jika ada yang mendengar. Hatiku lebih sakit dibandingkan hal lain saat ini.

"Yurika?"

Aku menoleh kebelakang. Terbelalak dengan mata sembap dan air mata yang masih deras menetes.

"Kau, tidak pergi?"

"Ah, sudah... dan... aku kembali," ucapnya sembari tersenyum manis lalu melebarkan tangannya.

Aku kembali menangis. Aku langsung berdiri dan berlari. Aku memeluknya erat. Menyembunyikan wajahku di bahunya. Aku rindu rasa ini.

Dia balas memelukku. Pagi itu kami saling berpelukan. Saling menghirup aroma tubuh dan melepas rindu.

"Cut"

"Oke, kerja bagus Risa, kerja bagus Kei."

Suara tepuk tangan langsung terdengar dari seluruh kru dan penonton di area itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 11, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AmefurashiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang