Boy In A Rock And Roll Band

58 3 0
                                    

How deep is your ocean?
How high is your sky?

I'd love to put our love into motion
But I'd have to ask myself why

255 following. 5556 followers. Jumlah angka yang disebut pertama tidak banyak berubah, tapi kelompok angka yang kedua.. rasanya ia tak ingat pernah melihatnya sebanyak itu. Tanpa sadar, alisnya sedikit terangkat dan kedua matanya melebar, sementara sudut-sudut mulutnya terangkat pula. Ckckck. Hebat. Kau semakin terkenal. Itu frasa yang dipikirkannya, ingin diucapkannya, namun takkan pernah tercetak dalam timeline itu. Tidak untuk sosok yang berpose angkuh pada layar di hadapannya.

Lelaki itu bermandikan lampu sorot. Lelaki itu memandang dunia melalui cuping hidungnya yang terangkat tinggi. Lelaki itu mengatupkan mulutnya erat seakan enggan menghamburkan napasnya yang berharga di bumi yang ternoda.

Oke, yang terakhir itu bohong. Tapi tetap saja. Lelaki itu.. demi apapun juga, bukan siapapun yang ingin ia jadikan teman selama sisa hidupnya. Hahaha! Bicara blak-blakan dan melankolis! Betapa ia membenci saat dirinya berada dalam suasana hati semacam ini. Saat jemarinya secara refleks mengarahkan cursor ke kolom search, lalu mengetikkan nama yang sejak lama tersimpan dalam rekaman pencarian—saking seringnya nama itu terpampang disana. Ya, nama lelaki itu. Betapa ia tahu bahwa tidak seharusnya ia melakukannya. Lalu betapa segala hal di sekelilingnya selalu mengkhianati akal sehatnya.

Why do I adore you?

Karena ia merasa begitu konyol. Lemah. Kalah dalam peperangan. Omong-omong, perang melawan apa? Perang biasanya terdiri dari beberapa sumbu kekuatan yang menyadari perannya masing-masing, yaitu sebagai perebut kemenangan. Jika hanya ada satu pihak yang melakukannya, well.. silahkan kau makan kemenangan egoismu itu sampai puas. Takkan ada yang protes. Karena tak ada yang terjadi, karena perang tak terjadi.

But baby, sometimes I forget

That I can't tell ya how to live your life
But I know how to live mine

Lalu apa yang harus disesali? Bukankah mereka selalu berteman baik? Ia tak pernah lupa mengucapkan selamat hari lahir selama enam tahun berturut-turut, dan ia selalu disambut dengan suara ramah yang khas setiap kali ia menelepon lelaki itu.. Meskipun setiap kali, lelaki itu selalu gagal mengenali suaranya. Meskipun setiap kali itu pula ia harus selalu berusaha mengingatkan lelaki itu tentang kenangan-kenangan mereka. Semua kenangan yang penting. Semua detail yang manis.

Ketika belum terlalu banyak orang mengenal lelaki itu seperti sekarang. Ketika mereka mengobrol bersisian di hadapan deretan keping dvd yang memenuhi lemari dari ujung ke ujung. Ketika ia menuliskan surat berlembar-lembar bersama bingkisan hadiah hari lahir. Ketika mereka saling bertukar kabar yang sebenarnya tak penting, tapi tetap mereka lakukan selama berhari-hari. Ketika ia meminta lelaki itu membalas surat-surat yang pernah ia kirim, surat-surat yang tak pernah ia tulis untuk siapapun sebelumnya. Ketika ia begitu bahagia hanya dengan mendengar ucapan terima kasih, atau pesan-pesan singkat yang menanyakan kabarnya. Ketika lelaki itu tersenyum ramah sambil mengulurkan tangan ke arahnya, di tempat pertama kali mereka bertemu, namun jemarinya begitu mati rasa hingga ia tak pernah menyambut uluran tangan itu—hanya kedua tangan yang tertangkup dan ekspresi wajah yang berusaha memancarkan kadar keramahan yang sama..

Lalu ia sadar hanya dirinyalah yang memerhatikan semua itu, mencatat semuanya dengan baik, untuk kemudian ia ceritakan lagi dalam percakapan-percakapan singkat yang hanya terjadi setahun sekali. Dan setiap tahun percakapan mereka semakin sederhana dan efisien. Tahun ini, ia mengucapkan 'selamat'. Kemudian lelaki itu mengucapkan 'thanks'. Selesai.

Well, I forget I'm a lady
I've had too much wine

Ada satu bagian dalam dirinya yang berteriak. Mengguncang nalar rasionalnya agar tersadar. Benarkah mereka saling mengenal dengan baik? Benarkah ia mengenal lelaki itu dengan baik? Ataukah selama ini ia hanya memuja sosok yang ia ciptakan dalam kepalanya..?

Namun ada satu bagian lain yang takkan pernah berubah. Bagian yang selalu ingin tahu. Bagian yang selalu membuat skenario pertemuan-tanpa-sengaja-yang-tak-pernah-terjadi. Bagian yang selalu mengetik namanya. Bagian yang terlalu percaya pada dongeng. Ia selalu menunggu, ketika tiba saatnya ia terlalu sibuk dalam lautan aktivitas, mencapai aktualisasi dirinya, dan memvisualisasi sesuatu yang lebih penting daripada skenario bualan. Ketika saat itu tiba, entah kapan, ia yakin bagian kekanak-kanakan itu akan hilang.

Nyatanya bagian itu seperti kanker. Bagian itu selalu bercokol disana, di suatu sudut dalam dirinya. Menunggu dalam diam. Mematikan.

Untunglah saat ini ia belum sekarat. Matanya masih bisa melihat dengan jelas. Membaca kata-kata tak penting dalam timeline yang sudah terlalu sering ia kunjungi. Tangannya masih bisa bergerak dengan lincah. Memutar scroll di tengah-tengah mouse dalam genggamannya, saat sebuah tulisan di dekat cursornya tampak begitu menarik..

Matanya masih bisa melihat dengan jelas. Memandangi angka-angka di pojok kanan atas. Memahami dirinya ada di antara ribuan. Namun entah bagaimana dan entah karena alasan apa, ia tak pernah ada di antara ratusan. Lalu cursornya bergerak ke sebuah persegi panjang biru di puncak angka-angka menyedihkan itu. Sesaat kemudian benda itu menjadi merah.

But I swore I would never fall in love
With a boy in a rock & roll band

255 following. 5555 followers. Selamat tinggal. Berterimakasihlah padaku. Kau dapat angka cantik!

-FIN-

(Author Notes: Taa-Daa! A songfic I made from a song titled 'Boy In A Rock And Roll Band' by The Pierces. So, what do you think?)

Antologi Cerpen SarkastikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang