Catatan Penulis Puisi

112 1 0
                                    

Pada satu masa di pertengahan zaman antah-berantah, saya menganggap puisi itu prosa menye-menye yang menggelikan. Rasanya bulu kuduk merinding ketika menemukan tulisan-tulisan yang katanya puitis—merinding saking geuleuhnya. Tapi zaman antah-berantah sudah lama berlalu. Berakhir ketika tiba-tiba saya mengalami semacam.. abad pencerahan. Kalau tak salah saat itu usia saya kira-kira 11 tahun. Perlahan tapi pasti, saya terpesona pada sesuatu yang abstrak.

Dulu saya paling benci setiap menemukan puisi bertema cinta. Romansa. Cengeng. Dan yang paling parah: Gombal. Rasanya seperti membaca bualan berlebihan yang tak perlu. Sangat mengerikan bagi saya yang saat itu masih belia. Jangan salah paham, saya versi bocah justru sering berpikiran aneh. Hingga tiba-tiba selembar puisi sampai ke tangan saya, dan bukan sekedar prosa menye-menye biasa. Bisa dibilang ini skenario mimpi terburuk: Sebuah puisi cinta yang ditujukan untuk saya.

Tidak perlu cie-cie atau ehem-ehem, itu bukan pengalaman yang pantas dibanggakan. Saya bahkan tak tahu apa itu bisa disebut puisi, tapi kata-katanya terlalu palsu untuk dikategorikan prosa deskriptif. Terlalu bodoh untuk disebut prosa argumentatif, dan terlalu bohong untuk sebuah prosa persuasif. Membaca deretan kata-kata itu rasanya isi perut saya bergejolak. Setiap kali selalu menimbulkan reaksi yang sama, namun saya malah membaca tulisan itu berulang kali. Mengabaikan ketidaknyamanan dan sebagian besar didorong rasa penasaran.

Saya tidak membayangkan si penulis saat membacanya berkali-kali. Kecuali mungkin saat pertama kali. Dan saya tidak lantas head over heels jatuh hati pada si pengirim. Bagi saya yang saat itu membenci puisi, skor penilaian saya terhadap si pujangga mendadak jatuh hingga mendekati level protozoa. Mohon maaf, tapi saya si bocah labil benar-benar heran bagaimana mungkin ada orang yang mau menulis sesuatu semacam itu.

Lama kelamaan saya jadi sok menilai si puisi cinta ini secara objektif. Kalau puitis itu sama dengan gombal, bolehlah tulisan ini dibilang puitis. Tapi susunan katanya tidak mempertimbangkan aturan rima apapun. Pilihan katanya kurang kreatif. Kata-kata sederhana, tapi terlalu gombal untuk dibilang apa adanya. Kalau diibaratkan gambar, tulisan ini seperti sketsa kasar dengan garis-garis berantakan yang ditarik terburu-buru. Bisa bikin orang jadi salah interpretasi. Mungkin ada emosi disana, tapi yang paling menonjol dibanding apapun hanya keputusasaan. Tapi terus kenapa ya.. Suka-suka si penulis lah mau mencurahkan emosi apa disana. Saya memang sok objektif. Menjelek-jelekkan karya orang lain tanpa tahu bagaimana rasanya menulis sebuah puisi dari hati, bukan sekedar tugas pelajaran bahasa indonesia atau sastra.

Zaman itu saya sedang rajin-rajinnya menulis buku harian. Bosan juga melihat ocehan yang kurang menyenangkan untuk dibaca. Meskipun hanya konsumsi pribadi, sekali-sekali menyenangkan untuk bereksperimen. Penasaran bagaimana rasanya menulis sambil membangun rumah bagi emosi saya di dalamnya. Rumah kata-kata yang ingin sedikit dipoles dan bersembunyi di balik ragam material disana-sini.. Mencoba berkamuflase dalam susunan yang kata orang disebut puitis. Terkadang menggombal itu bisa dimaklumi. Kata-kata tak selalu mewakili realitas, kadang mereka terbentuk dari cetakan emosi atau selubung makna. Seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api, yang menjadikannya abu.

Si bocah pembenci puisi kini jadi fans berat Sapardi Djoko Damono.

Semua itu tetap menjadi rahasia personal saya di kehidupan sehari-hari. Sejak kecil saya dikenal sebagai that quiet girl at the corner. Dalam kehidupan remaja di asrama, sayalah satu dari sedikit yang bisa tetap terlihat tenang sekalipun dalam masa krisis (dan sebagian orang menyalahartikannya sebagai kurang bertanggungjawab, sekalipun keduanya adalah hal yang berbeda..). Pada masa kuliah, teman dekat saya bahkan menjuluki saya Si Tiis! Bagi yang tidak mengerti bahasa sunda, itu artinya Si Dingin. So you now get the idea of where the title came from.

Jadi beberapa puisi yang saya tulis pernah terlanjur saya unggah ke media online (baca: blog & social networks). Sebagian besar yang lain terlalu pribadi dan tetap tersimpan dalam diary. Sejujurnya sih rasanya agak memalukan mempublikasikan tulisan semacam ini. Tapi kalau ada yang mau pake/copy+paste puisi-puisi ini ke tempat lain silahkan, asal ngobrol dulu sama saya sebelumnya. 🙂

List ini akan diperbarui dari waktu ke waktu. Constructive criticsm—kritik yang membangun—sangat diharapkan.

Cheers,

Mia Wachjudi
miagainstheworld.wordpress.com

Antologi Puisi Gadis Bernama DinginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang