Mama Tidak Menyerah
---
Mama tidak sedikitpun menyerah. Meski kian hari wajahnya kian tirus dan pucat, mama tetap semangat mengajakku untuk menulis. Diletakannya buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer koleksinya di meja belajarku. Satu buku setiap hari Senin dan Rabu, secara rutin tanpa terputus. Habis koleksi Pramoedyanya, mama ganti meletakkan karya Sapardi Djoko Damono. Habis koleksi Sapardinya, mama ganti meletakkan buku terjemahan karya Arthur Conan Doyle.
“Biar pembendaharaan katamu semakin banyak, baiknya kamu baca karya penulis-penulis yang beda.”
“Kamu tahu Sapardi ‘kan? ‘Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu’. Iya, dia memang bilang ingin mencintai dengan sederhana. Tapi sebelah mananya yang sederhana sih? Memang sederhana ya bagi Si Kayu yang nggak sempat mengatakan cintanya ke Si Api ini? Coba dipikir lagi. Keren ‘kan pemilihan katanya?”
“Gimana dengan Chairil Anwar? Nyebut-nyebut dirinya sebagai binatang jalang yang terbuang dari kumpulannya. Lihat, pilihan katanya. Kamu nggak ngerasa ada pesan-pesan yang... gimana gitu?”
Mama terus seperti itu.
Hingga akhirnya mama berhenti.
Dan pada saat aku tak lagi melihat buku yang disiapkan di meja belajarku, aku benar-benar merindukannya.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
LACUNA [Wattys Wild Card 2018]
Short StoryCintanya sederhana, tapi juga tidak sesederhana itu.