Aku ga suka prolog prologan ya, pusing sendiri. Ntar kalo niat aku rombak dan revisi ulang lagi maap ya gaissss :(
Sonia povAku berjalan menyusuri ruang yang begitu hampa ini, melihat kanan dan kiri berharap makhluk ciptaan Tuhan menyapa, lalu bercengkrama hingga akhirnya memulai awalan yang baru. Dengan tertatih tatih aku berjalan, dengan segerombolan pertanyaan di fikiran, dan dengan raga yang rapuh akan luka kemarin aku berjalan. Sebenarnya aku di mana? Inikah alam bawah sadarku? Apa yang harus aku lakukan? Ibu!!! Ayah!!! Kakak!!! Siapapun tolong aku dalam penderitaan yang pedih ini.
"Argh!!!!" Tanpa sadar aku bangun dan berteriak, keringat dingin bercucuran, semuanya memandangku cemas, sebenarnya apa yang sedang terjadi?
"Nak, kamu tidak apa apa?" Tanya seorang wanita tua renta dengan mata yang menyejukkan hati, aku yang ringkih langsung saja menghempaskan badanku kepelukannya. Nyaman dan tenang, hanya itu yang bisa aku rasakan.
"Menangislah jika kau perlu, teriaklah jika kau butuh, kami semua selalu ada di sampingmu." Wanita tua ini menenangkanku dengan kata kata yang halus sembari mengelus elus punggung rapuhku ini.
"ARGH!!! KEPALAKU SAKIT! AKU DIMANA? TOLONG BANTU AKU!!" Sesuai dengan perkataan wanita tadi, aku berteriak, dan menangis sejadi jadinya aku tak ingat apa yang terjadi. Semuanya gelap, kosong, hanya ada aku yang memegang lutut dan menangis.
"Kami akan menceritakannya secara perlahan, tenangkan dirimu. Gadis cantik tidak boleh bersedih!" Ujar wanita tua yang entah siapa namanya ini.
"Bolehkah aku memanggilmu ibu?" Aku memegang tangan renta sang ibu, menatapnya dengan tatapan sendu mirip seekor kucing yang tak memiliki induk.
"Aku sudah menganggapmu anak dari tiga hari yang lalu, makanlah sudah tiga hari kau pingsan dan tak kunjung bangun." Wanita yang aku panggil ini menyodorkan bubur, menyuapkanku layaknya anak kecil yang mogok makan karena keinginannya tidak dicapai.
"Ini enak!" Seruku lalu tersenyum, tanpa sadar orang di sekitarku juga ikut tertawa kecil akan tingkahku. Iya iya aku juga baru sadar kalau di kamar kecil ini begitu banyak orang, aku agak sedikit risih dipandang begitu banyak mata dengan rasa belas kasihan.
"Ibu, bolehkah orang yang ada di ruangan ini keluar? Aku agak risih melihat mereke." Bisikku kepada ibu, ibu hanya mengangguk dan menyuruh dengan bahasa jawa.
Aku memegang mangkok dan menatap lurus, masih mencoba berfikir apa yang telah terjadi. Aku tersadar dari lamunan saat seorang pria yang tinggi semampai menghampiriku.
"Hey, habiskan makananmu. Cepatlah ingat apa yang terjadi, aku tak ingin warga sekitar terus berdatangan dan mengasihanimu, paham?!" Suara tegasnya membuatku takut, ingin menangis namun aku tahan, entah apa isi kepala pria ini sampai tega membentak seorang gadis yang baru sadar dari pingsan tiga hari lalu.
"I..iya" aku hanya mampu menjawab sebisaku, pria itu pergi dan ibu datang. Ibu hanya melihat pria itu sinis, sepertinya ibu sudah tahu apa yang dikatakan pria itu karena dindin kamar ini terlalu tipis dan bisa terdengar sampai keluar.
"Nak, kalau sudah makannya kita jalan jalan ya. Ibu ingin mengajakmu jalan jalan, kata pak dokter kamu tidak boleh di rumah terus nanti kamu stres." Ibu mengambil mangkuk yang ada di tanganku dan duduk disisi ranjang.
"Terserah ibu saja, saya ikut" Aku mengelus elus punggung tangan ibu, sampai tak menyadari air mata jatuh dari pelipis dan turun ke pipi yang chubby ini.
"Kamu inget sama keluargamu di kota ya? sabar nak, cepat atau lambat kamu pasti akan ingat. Oh iya, kata warga temanmu ada yang selamat lagi, dia sedang dibawa ke puskesma desa. Ibu mencuci piring dulu, kamu istirahatlah kalau ada apa apa panggil saja ibu." Ibu keluar membawa piring, aku masih cengo dengan perkataan ibu. Semua kata katanya membuatku pusing dan aku melanjutkan istirahatku kembali.
─────
Author pov
" Telah terjadi kecelakaan pesawat singa terbang dengan tujuan Yogyakarta ..... " Putri mematikan televisi yang menyiarkan berita tentang kecelakaan pesawat yang ditumpangi empat sahabatnya itu. Mereka sebenarnya akan pergi bersama, namun putri dan sukma tidak bisa berangkat hari ini karena masih banyak surat kepindahan yang harus diurus.
"Bu, gimana ni? Itu udah jelas jelas pesawatnya mba sonia. Aku bimbang loh bu!" Putri bolak balik dengan raut muka cemas, berusaha mencari solusi namun tidak menemukan sama sekali.
"Kita berdoa saja, semoga mba sonia dan yang lain selamat. Ibu siap siap lalu pergi ke rumah mamahnya sonia, kamu sama sukma di rumah aja." Siska ── ibu putri ─── bergegas ke kamarnya dan mengambil kunci, seluruh orang di rumah cemas dengan berita yang baru saja di lihat. Padahal baru beberapa jam mereka mengantarkan sonia dan tiga temannya ke bandara namun kejadian yang tak mengenakkan malah menimpa mereka semua.
"Tante hati - hati, jangan ngebut. Tetap istigfar dan jangan gegabah, telfon jika ada kabar dari pihak maskapai." Sukma dan putri mencium punggung tangan siska dan melambai. Mereka berdua masuk, menelfon siapa saja agar mendapatkan info tentang sahabat yang sudah dianggap mereka sebagai kakak itu.
"Ma, gue kayanya tetep milih di London deh." Putri menandatangi surat yang dipegangnya dengan ragu, sukma hanya memandang tanpa ekspresi.
"Lo gila ya?! Temen bahkan orang yang udah lo anggep kaka lo sendiri sekarang lagi sekarat dan lo masih mikirin kuliah lo?! Persetan sama itu gue pulang. Lo emang ga bisa diajak berteman!" Sukma kesal, mengambil tasnya dan keluar dari kamar putri yang bernuansa biru ─ pink itu.
"Ma, ma! Maksud gue ga gitu, gue cuma ... " Putri menahan lengan sukma yang ingin pergi dari rumahnya, ini semua salah paham.
"Cuma apa?! Kalo emang mba sonia ga selamat dan mati tanpa ketemu jejaknya gimana?! Gue ga habis fikir sama lo put, gue pulang. Safe flight ya, London ga se indah Indonesia, Pontianak, bahkan rumah lo sendiri!" Sukma benar benar pergi, kali ini putri tak menahan gadis yang memakai cardigan merah maroon itu. Putri jatuh, terduduk lemas mendengarkan penuturan dari sahabat baiknya itu, kali ini putri memang benar benar egois karena mementingkan dirinya dibangdingkan sonia yang tengah berjuang dan tak tau dimana.
Putri mengemasi barang barangnya kedalam koper, putri membawa tiga koper untuk tinggal selama satu semester di London. Ia mengambil jurusan kedokteran di London dan mewakili Indonesia sebagai mahasiswi beasiswa, sebenarnya tak hanya University College di London, masih ada dua Universitas yang ditawarkan saat putri lulus dari sekolah menengah atasnya itu, entah apa yang dipikiran gadis itu sampai memilih London sebagai tempatnya menimba ilmu yang lebih tinggi.
Menuliskan note note kecil dan di tempel di dinding dinding kamar, berbagai kata kata yang ditulisnya dan untuk banyak orang. Putri tau dia egois, tapi ia sudah memikirkan ini matang matang karena musibah ini putri jadi terhambat kepergiannya, padahal semua rencana sudah disusunnya namun rencana manusia hanyalah rencana. Rencana paling baik adalah rencana yang Allah buat.
-bersambung
Hallo, saya penulis abal abal yang tingkat kelabilan paling atas. Maaf karena semuanya saya ganti, iya iya sayang banget padahal kan? Iya aku juga sayang kok eh wkwk sampai jumpa di chapter ke dua luv gaes :)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Name is Hijabers
Teen Fiction"Hey, what are you doing?" Tanya laki laki berperawakan setengah bule saat melihat Sonia tengah duduk sembari menghafalkan kembali ayat ayat Al-Qur'an yang telah dihafalkannya. "Murojaah!" "Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main...