Ch 1

2.2K 86 2
                                    

Seorang wanita dewasa berambut hitam kecoklatan sepanjang punggung tampak merenung di sebuah balkon yang letaknya persis di depan kamarnya.
Dari dahi wanita itu keluar peluh yang menetes hingga ke pipinya yang terlihat tirus. Raut lelah tampak jelas di wajahnya, tapi wanita itu malah tetap berdiri dan menatap kosong ke depan.
Tak berselang lama, wanita itu merasakan sepasang lengan kekar melingkari perutnya, lalu disusul dengan sebuah kepala yang bertengger di bahu kanannya.
Setelah sedikit berjengit kaget, wanita itu akhirnya tersenyum karena ia mengenal betul siapa sosok yang saat ini sedang memeluknya dari belakang.
"Kau pulang lebih awal?"
Sang lelaki yang memeluk wanita itu tersenyum sebelum menjawab pertanyaan yang diajukan oleh sang wanita,
"Aku pulang awal karena aku tidak tega melihat istriku ini harus membereskan rumah sendirian. Maafkan aku karena tidak bisa membantumu beres-beres padahal kita baru saja pindah."
Kini giliran sang istri yang tersenyum maklum walaupun ia memang merasa lelah setelah seharian membereskan rumah. Tangan kanannya dengan lembut menepuk-nepuk sepasang tangan suaminya yang masih setia melingkar di perutnya.
"Aku tidak sendirian. Bibi Jang membantuku berberes. Kau tidak perlu mengkhawatirkanku, tuan manajer."
Sang suami yang memiliki postur tinggi itu kini terkekeh, lalu melepaskan pelukannya dari tubuh sang istri. Kaki panjangnya bergerak dan membawa tubuh pria itu berpindah ke samping sang istri. Mengikuti jejak istri cantiknya untuk menyandarkan tubuhnya di pagar balkon.
"Mereka sudah pindah sejak tiga tahun yang lalu," suara berat sang pria mengalun, tapi istrinya malah menatapnya dengan dahi berkerut.
Tahu bahwa istrinya bingung, pria itu kembali bicara seraya mengalihkan pandangannya ke arah sebuah rumah yang letaknya persis di samping rumahnya. "Mereka, sayang. Pemilik rumah itu sudah pindah sejak tiga tahun yang lalu."
Sang istri ikut mengalihkan pandangannya mengikuti arah pandang suaminya. Rumah yang dipandang oleh suaminya itu berada persis di samping rumahnya, dan sekarang rumah itu berada tepat di depannya karena ia dan suaminya sedang berdiri di balkon yang menghadap ke samping.
"Aku tahu itu," wanita itu akhirnya menimpali perkataan suaminya. Matanya menatap lurus ke arah rumah yang sekarang kosong itu. Suaminya tadi berkata benar. Rumah itu sekarang tidak ada yang menempati karena pemiliknya memutuskan untuk pindah.
Mata wanita itu memancarkan kepedihan. Rumah itu tampaknya memiliki kenangan yang pahit baginya. Kenangan yang tak bisa terhapus dari otak dan hatinya meskipun ia sudah berusaha.
Sang suami rupanya menyadari kesedihan sang istri. Dengan lembut pria tampan itu meraih istrinya ke dalam pelukannya, kemudian membisikkan kata-kata maaf di telinga sang istri, "Maafkan aku karena kita harus kembali lagi ke wilayah ini. Aku tidak menyangka restoran tempatku bekerja membuka cabang baru di wilayah ini, dan aku dipindah tugaskan kesini. Aku juga tidak menyangka jika hanya rumah ini yang bisa kita beli di wilayah ini."
Sang wanita membalas pelukan suaminya dan mencoba tersenyum meskipun senyum itu sarat akan rasa pilu. "Kita harus bersyukur karena kau yang dipindah tugaskan ke daerah sini, sayang. Dulu kau hanya menjadi seorang akuntan biasa di restoran, tapi sekarang kau berhasil menjadi General Manager ," wanita itu sejenak menarik nafas panjang, lalu melanjutkan ucapannya. "Lagipula, ini adalah rumah lama kita sebelum kita pindah enam tahun lalu."
"Dulu setelah kita menikah, kita hanya satu minggu tinggal disini, sayang. Pasti kau tidak memiliki banyak kenangan di rumah ini."
Sang istri tersenyum simpul mendengar perkataan suaminya. Memang benar. Ia tidak memiliki banyak kenangan di rumah yang saat ini ia tempati bersama suami dan anaknya. Enam tahun yang lalu mereka segera pindah ke luar kota dan tak pernah kembali ke rumah itu lagi. Rumah itu dulu dijual oleh suaminya, tapi saat ini rumah itu kembali mereka beli.
Kenangan sang wanita berkulit putih itu sepertinya justru tersimpan di rumah sebelah, dan itu terasa menyakitkan untuknya. Jika boleh memilih, ia tak ingin kembali ke wilayah ini lagi.

Tapi ia bisa apa? Suaminya diberi kepercayaan untuk menjadi General Manager (GM) di cabang restoran yang baru saja dibuka di wilayah itu. Restoran tempat suaminya bekerja merupakan restoran besar yang sudah dikenal di Korea, dan kesempatan untuk menjadi seorang GM tidak bisa dilewatkan begitu saja.
Enam tahun lalu dengan susah payah suaminya mendapatkan pekerjaan di restoran itu sebagai seorang akuntan. Itu sebenarnya sudah merupakan prestasi karena suaminya itu bukanlah lulusan jujuran akuntansi, melainkan jurusan manajemen. Hanya saja, suaminya itu kenal dengan sang direktur pemilik perusahaan yang bergerak dalam bidang kuliner itu. Lagipula, pada dasarnya suaminya memang memiliki bakat alami dalam bidang yang berhubungan dengan angka, sehingga enam tahun lalu ia bisa menjadi salah satu akuntan di restoran bintang lima itu.
Dan sekarang ia bisa naik jabatan menjadi seorang GM, yang jelas-jelas merupakan jabatan yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Dulu ia juga menjadi manajer di salah satu perusahaan, dan sekarang ia pun bisa mendapatkan jabatan yang sama. Jabatan manajer tentu merupakan jabatan yang tinggi dan bergengsi.
Sang wanita kini berusaha kerasa menekan rasa sesak di dadanya dan sebisa mungkin mendukung langkah suaminya. Ia tahu bahwa dirinya bukanlah satu-satunya pihak yang terluka disini. Suaminya mungkin lebih merasa sakit lagi karena ia harus kembali tinggal di rumah yang dulu ia tinggali selama sepuluh tahun sebelum mereka menikah.
Intinya, dua orang itu sebenarnya sama-sama merasa sesak karena masa lalu mereka.

REUNITETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang