The Lover With His Love

895 74 17
                                    

RIY
****

Senyum itu kembali kulihat, secepat kilat, dan berganti lagi dengan keletihan yang tergambar jelas di wajah kelamnya. Ara, pria itu menekur, menjelajah ruang dan waktu yang telah lama ditinggalkannya, ruang di mana dia menemukan secercah harapan dan waktu di mana dia merasa dunia begitu kejam padanya. Lagi, untuk kedua kalinya.

"Aku hanya ingin semua ini segera berakhir, Kim. Kenapa mendahului kematian menjadi sebuah dosa besar? Jika tidak, kan, aku bisa melakukannya sesegera mungkin," Ara bicara dengan berapi-api, lalu kemudian menengadahkan wajahnya ke atas agar basah di matanya tak turun. Ia mengerjap dengan cepat.

"Tuhan memberi kesempatan lebih dari dua kali kepada hamba-Nya. Dan Dia masih percaya bahwa kau akan memanfaatkan kesempatan itu. Pulanglah, mulailah dari awal."

Mungkin dia mengira aku sok bijak, atau melihat betapa tak berkualitasnya ucapanku hingga dia tertawa hampir terpingkal-pingkal. Atau aku lucu? Tak mungkin. Aku mengerutkan alis, merasa asing dengan sosok di depanku yang sudah ku kenal selama lebih dari lima tahun lalu itu.

Kami berpisah dalam waktu yang lama, tiga tahun atau mungkin sedikit lebih. Aku merindukannya, menunggunya untuk mendengar makiannya, sikap possesifnya, kebiasaan sok tahu-nya, juga perhatiannya, kemalasannya, lawakan garingnya, dan pelukannya saat aku sedih. Dia orang pertama yang menangis sebelum aku meneteskan airmata. Pemuda yang lemah yang menjadi pahlawanku pada waktu yang bersamaan.

Kami bertemu lagi di antrian tiket kereta. Aku tak percaya saat dia sedikit melupakanku saat aku masih benar-benar mengenalinya. Aku masih ingat dengan sorot matanya yang tajam, meski wajahnya kini mulai tampak tirus, dengan beberapa helai jambang tak dicukur di dagunya. Satu yang pasti, dia tetaplah nampak begitu tampan.

Kami sepakat bertemu di sini, hanya untuk bercerita tentang segala hal, berkeluh kesah meski tak ada solusi yang didapat. Lalu kami akan pergi ke suatu tempat, bermain sepuasnya dan tertawa hingga mengganggu orang2 di sekitar. Seperti dulu. Tapi semuanya tak lagi begitu. Tiga tahun cukup untuk mengubah segalanya.

"Kamu sudah punya istri? Kenapa tidak mengundangku di hari istimewamu? Anakmu pasti lucu, laki-laki atau perempuan? Siapa namanya?"

Aku mengerutkan keningku menyimak pertanyaan tak mendasarnya, lalu kusiduk sesendok es krim sebelum kujejalkan ke mulutnya. Aku ingin semuanya mencair, tak lagi kaku. Aku bosan jika bertemu hanya untuk berbicara hal bodoh. Dia tertawa sesaat dan menjilat bibirnya sendiri, lalu terpekur lagi.

Terlihat dia tersenyum sedikit semenit kemudian. Walau begitu, perubahan wajahnya yang begitu cepat tak mampu membuatku berpikir dia lelaki yang misterius.

“Hahaha.... kenapa aku bertanya begitu ya? Bukankah kau ini sama denganku, tidak bisa jatuh cinta dengan sosok perempuan? Bagaimana kau bisa menikah dan punya anak? Bodoh sekali pertanyaanku.”

Kualihkan pandanganku, dia masih tetap menjengkelkan. Beberapa saat kami sama-sama diam, menatap keramaian kota dan kesibukan orang-orangnya yang individualis dari balik kaca tebal sebuah kedai kopi. Siang ini panas, panas hari kesekian setelah musim hujan.

“Cuaca di luar sangat bagus. Gimana kalau kita pergi ke pinggiran kota dan memancing ikan di sungai?” ucapnya tiba-tiba dan membuatku menghilangkan sosok lelaki delapan belas tahun yang belakangan ini sering membuatku menangis sendiri di pojok kamar. Kuhela napas sesaat, sedang apa dia di sana saat ini?

The Lover With His LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang