PEREMPUAN BAYANG-BAYANG

2.7K 35 3
                                    

PEREMPUAN BAYANG-BAYANG

Laila Jumila

Perempuan itu kemarin akhirnya mendatangi rumahku. Jelang senja. Ia terlihat ragu saat membuka pagar rumahku. Jemari lentiknya mendorong pagar rumah yang memang tak terkunci.

"Masuk, dan duduklah," kataku datar sembari membuka pintu rumah untuknya.

"Anggita Larasati?" tanyaku mantap sambil mengulurkan tangan. Ia hanya menatapku dalam. Tak membalas uluran tanganku. Ia mencoba duduk, bersusah payah menyingkirkan beberapa buah kaos dan bantal yang bergelimpangan di sofa itu. Dari sudut matanya kutahu ia mencoba menilai seisi ruangan tamu mungilku. Siaran tivi terdengar sayup-sayup di sudut. Di seberang sana, spring bed terlihat berantakan dengan sprei dan bed cover menjulur hingga ke lantai.

"Istri sahnya Zhafran, lebih tepatnya," suaranya dalam. Tak terdengar bergetar, emosional atau nada marah. Lebih dingin tepatnya. "Aku hanya ingin melihat lebih dekat, perempuan seperti apa yang mampu menggoda suamiku,"

Aku tersenyum tipis. Sekaleng coke kusodorkan untuknya. Ia hanya mengangkat bahu sambil membuka tas dan meneguk infused water nya sendiri.

"Jadi semalam ia menginap di sini, merokok dan sedikit mabuk," jemari lentiknya menunjuk kaos dan kemeja yang teronggok lemah di sudut sofa. Milik suaminya.

Aku tak perlu menjawab. Hanya gantian mengangkat bahu tak acuh, sambil menyesap birku sendiri. Sebatang rokok kujentikan perlahan di asbak.

Ia melempar amplop cokelat ke meja. Dari amplop tak tertutup itu berhamburan foto-foto. Foto-foto kemesraan kami tentu saja. Aku dan Zhafran, suaminya.

"Segitu borosnya sampai sewa detektif segala, Anggita?" Aku iseng bertanya. "Selama ini Zhafran bahkan tak menyadari kalau kau sudah tau di ranjang mana suamimu bermalam, kan?"

"Enam bulan lebih sepuluh hari, tepatnya," Ia menatapku dingin. Tajam.

"Lalu apa yang kau inginkan setelah ini? Merayuku untuk melupakannya? Menyogokku dengan tumpukan uang? Atau menyiramku dengan air keras, mumpung gak ada saksi yang melihat?" tanyaku mencoba menatap matanya.

Kuterkejut ia malah tersenyum mendengar pertanyaanku. Tampak hampir tertawa malah. Tak marah. Tak memaki-maki diriku. Bahkan duduknya mulai lebih santai bersandar di sofa mungil itu. Jemarinya mengelus botol infused water dalam genggamannya. Campuran strawberry, apel serta blueberry yang tampak menggoda di senja yang panas ini.

"Seperti yang kubilang," katanya perlahan. "Aku hanya penasaran, wanita seperti apa yang mampu merebut hati Zhafran. Tadinya kupikir hanya seorang bocah ingusan, rok mini, rambut dicat pirang dan tank top, tipe cabe-cabean kekinian yang butuh om-om tajir buat beliin i-phone gratisan atau yah, buat bayar tunggakan apartemennya," Ia menatap mataku dalam-dalam. Lagi.

"Lalu..?" Aku hanya menggiringnya untuk terus bercerita dan mengeluarkan isi pikirannya. Anehnya, aku tak lagi merasakan dendam amarah perempuan perebut suaminya. Kami layaknya teman lama yang bercakap-cakap mengenang masa lalu.

Ia tak menjawab. Hanya berdiri dan mengitari rumah mungilku. High-heels nya berdetak lembut saat menginjak lantai. Sekilas dilihatnya layar laptop masih menyala. Tumpukan novel berserakan di mana-mana.

"Kau penulis?" tebaknya tepat.

"Bisa dibilang seperti itu. Meski yah, seumur hidup takkan pernah kau baca namaku ada dalam novel-novel ciptaanku," jawabku menghela napas. "Ghost Writer, kau tau..." Kembali kujentikan abu rokok di asbak.

Matanya mendadak menyipit sambil menatapku. "Lalu mengapa Zhafran? Kalau boleh kutau....Mmm, Sorry, duniamu menyediakan begitu banyak makhluk-makhluk yang hidup bergentayangan, kehidupan bebas maksudku, diterima begitu baik di dunia seni, kan?"

Aku hanya menghela napas beberapa kali sebelum mampu menjawab pertanyaannya. Bir dingin di gelas bening itu kusesap perlahan.

"Ia hanya datang begitu saja dalam hidupku. Sama sekali bukan tipeku selama ini. Tipe pria serius. Menekuni dunia yang terlalu kompetitif dan ambisius. Tadinya kami hanya teman bicara, teman chatting di dunia maya, mencuri waktu diantara padat jadwal meeting-nya. Lalu ia malah memaksa untuk ketemuan, minum kopi, lanjut nonton bareng, sampai akhirnya sering bermalam di sini,"

"Kau cinta diakah?" tanyanya langsung.

Aku hanya mengangkat bahu. "Aku tak tahu. Akupun tak tahu apakah ia cinta aku atau tidak. Akupun tak peduli. Kami tak pernah bahas itu. Kami bicara banyak hal. Bercinta, tapi tak pernah bicara sedikitpun tentang cinta,"

Mendengar kata bercinta, kulihat ia sedikit tersentak. Ada bara di matanya. Namun kutahu ia mencoba sekuat mungkin untuk menahan emosinya.

Aku hanya mengangkat bahu. "Yang kutahu, semua lelaki hanyalah bocah berkumis yang merindukan menetek di puting ibunya yang nyaman. Tak peduli seberapa cantik dirimu, secerdas dan secemerlang apapun karirmu, mereka hanya ingin menetek dengan nyaman,"

Anggita terpaku sejenak setelah ia berjalan tak tentu arah mengitari ruang sempit di rumah mungilku itu.

"Kau ingin ia kembali mencintaimu utuh? Kau ingin ia berhenti berbagi ranjang denganku?" Tanyaku.

Ia menarik napas panjang, menghembuskan lagi perlahan. Tampak berpikir mandalam sebelum menjawab pertanyaanku.

"Kita lihat nanti, apakah ia masih semenarik Zhafran yang sekarang, setelah ia kudepak dari perusahaan milik ayahku. Kita lihat,apakah ia masih se-sexy dan se-galant saat ini, setelah ia papa dan terlunta-lunta. Dengan sekejap mata, ia bisa jadi manusia gelandangan kalau kumau, Laila..." katanya lebih menyerupai bisikan.

High-heels nya kembali berdetak. Dengan bahasa tubuh yang anggun ia pamit. Membuka pagar pintu yang berderit.

Saat ia menyalakan alarm matic pajero sport-nya yang seputih susu, aku menatap dalam-dalam pada bola matanya, "Aku tak pernah tertarik pada pria papa dan terlunta-lunta, Anggita," Bisikku.

Mata kamipun bertatapan. Dalam-dalam. Sebelum bayangnya melesat secepat kilat. Akupun kembali sendiri dalam sunyi, bersama bayangku sendiri.

* * *

PEREMPUAN BAYANG-BAYANGWhere stories live. Discover now