Kelahiran

179 8 0
                                    

Sore hari, pintu rumah Pak Ahmad di gedor. Seorang pria muda muncul di depan pintu dengan muka berbinar-binar dan nafas yang tersengal-sengal. lelaki tersebut kelihatan seperti habis dikejar sesuatu yang menakutkan.

"Pak Ahmad, anak saya sudah lahir. Selamat dan sehat!" Darah Pak Ahmad yang tadinya naik gara-gara tidur siangnya terganggu langsung surut.

Pak Ahmad tahu betul dengan siapa dia berbicara. Seorang pria kurus berambut keriting yang terkenal karena selalu membantu warga sekitar. Akan tetapi akhir-akhir ini beredar rumor kalau pria ini memiliki utang yang menumpuk pada seorang juragan yang bernama Supardi.

"Alhamdulillah! Selamat! anak pertama kan?" tanya Pak Ahmad dengan antusias.

"Betul Pak. Tapi tolong!" Si pria memasang wajah memohon.

"Tolong?"

"Iya, anak saya masih belum punya nama. Saya bingung mau kasih nama apa."

Pak Ahmad langsung berpikir. Dilihatnya bayi yang sedang digendong oleh Pria muda tersebut dengan seksama. Bayi tersebut memiliki kulit yang selembut susu, dan bersinar bagaikan mutiara. Keelokan rupanya sudah terpancar meski masih berumur beberapa jam. Ia teringat bahwa Hari Kartini baru saja lewat dan langsung menggapai.

"Beri nama Kartini!" kata Pak Ahmad dengan penuh keyakinan.

Pria berambut keriting tersebut terlihat gembira. "Kartini Pak? wah!"

Pak Ahmad terlihat lebih berwibawa. "Benar! Nama yang bagus dan sesuai untuk putri kecilmu. Dengan nama itu adalah doa agar dia menjadi wanita tangguh dan pantang menyerah. Wanita dengan budi elok dan memiliki paras yang cantik."

Pria tersebut langsung mengangguk-angguk. "Terima kasih Pak Ahmad! Saya menyetujuinya. Saya mohon pamit Pak!"

"Sama-sama. Oh ya, Somad! sampaikan pesan saya pada Marni ya, semoga ia cepat sembuh."

"Siap Pak Ahmad!" Somad lalu berbalik dan pergi.

Tetapi, saat Somad sudah di depan gerbang rumah Pak Ahmad, tanpa sengaja ia menjatuhkan secarik kertas. Pak Ahmad menyadarinya dan memungutnya tepat ketika sesosok Pria berkulit sawo matang itu menghilang dibalik belokan.

Pak Ahmad lalu beranjak ke dalam rumahnya dan penasaran dengan isi kertas tersebut. Duduk di sofa kesayangannya lalu mulai membaca. Kalimat demi kalimat, dan ia menyadari sesuatu. Kertas tersebut sangat berarti bagi lelaki kurus tersebut. Kertas itu harus dikembalikan lagi kepadanya.

Pak Ahmad lalu mengambil topi hitamnya dan bersiap-siap untuk menyusul muridnya ke rumah sakit tempat Kartini dilahirkan.

* * *

Somad kembali berjalan ke rumah sakit di ujung desa. Jaraknya sekitar 20 menit berjalan kaki dan bisa lebih cepat kalau berlari. Tapi jarak tak mampu mengusik dirinya, sebab hatinya sedang bergembira. Bagaimana tidak, pria yang berprofesi tukang kebun itu telah berhasil menemukan nama untuk putrinya. Kartini, adalah nama yang cocok sekali menurutnya. Ia sangat tidak sabar untuk bertemu dengan istrinya. Somad yakin istrinya akan sependapat dengan nama tersebut.

Entah kenapa langkah Somad menjadi ringan, seakan-akan ia bisa melompat tinggi dan menggapai awan. Hatinya berdegup cepat, seperti hentakan musik rock. Angin dengan lembut menerpa wajah mereka berdua, sinar matahari sore menghangatkan tubuhnya beserta anaknya. Suasana hati yang begitu berwarna.

"Ya, Allah," Somad menatap langit, "Anugerah-Mu tiada tara. Kartini telah Engkau titipkan padaku. Putri kecilku yang manis ini akan aku besarkan bersama Marni. Berikanlah hamba kekuatan."

Dilihatnya Kartini tanpa berkedip. Air matanya lelaki itu meluncur dari matanya. Sekarang pipinya sudah basah dan lembap.

Kartini tertidur pulas di dekapan ayahnya. Sebuah senyuman manis menghiasi wajahnya, seakan-akan ia mengerti bagaimana perasaan ayahnya. kulitnya terlihat berkilau karena terpaan cahaya senja.

Mengingat hari sudah semakin sore, Somad mempercepat langkahnya. Sendal jepit lusuh tak membuat ia kesulitan melangkah, begitu juga karena berat badan Kartini yang ringan.

Akhirnya ia sampai di hamparan kebun teh. Kebun teh ini merupakan tempat yang penting di desa tempat Somad tinggal. Mayoritas masyarakat desa memilih untuk menjadi petani teh. Dan sekarang Somad akan melewati hamparan hijau yang memiliki wangi khas tersebut.

Langkah Somad langsung terhenti.

Dari kejauhan ia melihat beberapa orang pria. Mereka berbadan kekar, memakai celana jeans dan kaos oblong berwarna gelap. Di antara mereka, berdiri seseorang yang sangat tak asing lagi bagi Somad.

Pria tersebut memiliki kumis tipis, dan jenggot tipis. Memiliki rahang yang kuat, bentuk kepalanya sedikit bulat. Matanya awas dan tajam, seakan-akan orang yang melihatnya langsung kaku di tempat. Hidungnya lebar dan ada tahi lalat tepat di samping kanan batang hidungnya. Badannya besar namun tidak gendut. Ukuran lengannya sebelas duabelas dengan gorila. Ia memakai kemeja hijau kotak-kotak dengan jaket kulit cokelat di luarnya. Dan lengkap sudah fashionnya setelah ditambah dengan topi berburu. Cara berdirinya seperti seorang jenderal yang akan memarahi bawahannya. Tentu saja, ada belati yang dijepit oleh saku celananya.

Jumlah mereka semua ada 6 orang, dan masing-masing mereka memiliki senjata seperti pentungan, tongkat, bahkan ada yang membawa golok. Sorot mata mereka penuh dengan amarah yang membakar.

Jantung Somad dipompa dengan hebat. Tentu saja dia memahami situasi yang sedang terjadi. Tanpa pikir panjang, ia langsung berbelok dan berlari menjauh dari mereka.

Kelompok pria tersebut menyadarinya dan langsung berlari mengejar, setelah menerima perintah dari pria berkumis tipis.

Somad terus berlari dan berlari tanpa menoleh kebelakang. Tetapi ia masih mampu mendengar derap langkah pria-pria berotot itu. Ia tahu pasti apa alasan yang membuat ini semua terjadi. Alasan yang selalu menghantui dia semenjak berurusan dengan pria gempal berkumis tipis tersebut. Somad tentu ingat pesan dari pria tersebut tepat seminggu yang lalu.

KartiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang