Dia yang Aku Tunggu

1.1K 61 1
                                    

Terkadang, menunggu bukanlah sesuatu yang percuma. Apalagi ketika kita sabar menunggu sesuatu yang tidak pasti.

Udara yang cukup dingin menembus kulit, membuat mata terus terjaga. Mata ini menyaksikan fenomena alam di ketinggian. Gelap berangsur berganti terang seiring munculnya suara di balik gunung Bromo. Sesaat kemudian, lautan kabut tampak berarak lambat seiring desau angin tertimpa mentari pagi. Mata Syana menatap kabut-kabut itu dengan pandangan menerawang, desau angin seakan yang menusuk telinga seakan tidak membuatnya terganggu. Dingin yang menembus kulit seakan-akan hanya sebuah pertanda kecil yang menyadarkan dirinya bahwa ia masih hidup. Helaan napas berat terdengar membuat asap putih terlihat keluar dari mulut Syana.

Tepukan pelan di pundak Syana, membuat Syana tersadar dengan dunia nyatanya. Matanya mengerjap beberapa kali dan tatapan itu seakan-akan berisi kembali. Tubuhnya seakan kembali bernyawa setelah ia mencoba untuk merasakan yang namanya tidak bernyawa. Kepala Syana otomatis menoleh ke samping, melihat siapa yang menganggu ketenangan dirinya.

"Ada apa?" Syana benar-benar sudah malas bertemu dengan orang-orang yang ia kenal.

Amanda hanya mendengus melihat Syana – sepupunya- yang seperti orang hidup tapi tak bernyawa. "Aku hanya takut kau lompat dari sini."

"Aku tidak sebodoh itu," kesal Syana. "Lagi pula, aku sudah mati dua minggu yang lalu."

Amanda tertegun.Tiba-tiba ia merasakan ada yang menusuk tubuhnya ketika mendengar Syana berbicara seperti itu. Walau begitu, ia harus bersikap lebih waras dari Syana atau sedikit gila agar menyadarkan sepupunya ini. "Maka dari itu, kau tidak boleh mati lagi! Kau tak mau mati untuk kedua kalinya, 'kan?!"

"Mungkin," Mata Syana menatap luasnya langit yang terlihat indah dan tenang, "kalau aku mengalami hal itu lagi, aku bisa mengingat orang itu."

"Astaga! Tidak ada orang yang kau tunggu! Percaya sama aku, Na." Amanda terlihat frustasi.

Syana menggeleng, air matanya menetes kembali tanpa ia duga. "Aku yakin," tangannya memegang kayu pembatas sangat erat, seakan-akan tubuhnya akan jatuh kaapan pun itu, "aku menunggu seseorang sebelum semua ini terjadi."

"Please, Syana. You don't have to do that!" Rasa frustasi Amanda sudah berada di level yang tertinggi. Tujuan ia mengajak Syana kesini itu, membuat Syana melupakan segala masalahnya. "Kita kesini buat liburan, bukan untuk bertengkar!"

Kedua bahu Syana terangakat. Ia tidak peduli dengan liburan yang dimaksud Amanda.
"Coba kau bayangkan! Kalau kau tiba-tiba bangun dalam keadaan tidak mengingat apapun, apa yang akan kau lakukan? Bahkan kau tidak bisa mengingat seluruh peristiwa yang baru saja terjadi!"

Amanda tidak bisa menjawab pertanyaan Syana, karena ia tahu betul bagaimana kondisi Syana. Syana yang terlihat murung dan tidak punya semangat ini mendapat diagnosa dokter yang berisi bahwa Syana mengalami amnesia lacunar, amnesia yang menyebabkan Syana mengalami kehilangan daya ingat peristiwa-peristiwa tertentu secara acak. Amnesia ini terjadi karena tubuh Syana kekurangan oksigen, ini semua terjadi saat Syana sedang berada di mobil dan tiba-tiba mobil itu memercikan api yang berasal dari mesin mobil. Syana yang panik dan pintu mobil tidak bisa dibuka, membuat ia susah bernapas yang berujung tubuhnya kekurangan oksigen.

"Kau tak bisa menjawabnya," ucap Syana lemah.

Tangan Amanda terulur mengenggam tangan Syana yang bergetar karena kedinginan. Ia mengulas senyum tipis, "Aku memang tidak tau bagaimana rasanya, tapi aku yakin, kau pasti bisa mengingat semuanya lagi. Jika memang ada seseorang yang kau tunggu, aku yakin orang itu akan mencarimu. Secepatnya, pasti orang itu akan menemuimu."

Dia yang Aku TungguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang