Diari Buku Harian

109 2 1
                                    

Aku merasa tersanjung ketika dia memelukku. Hanya dia, Tuhan, dan Aku yang tahu isi hatinya. Wangi nafas yang berhembus setiap dia tulis kata-kata yang dirangkai untuk menceritakan kisah sehari-hari, membuatku merasa akulah teman hatinya. Seperti tentang perasaannya ketika dia menerima sepasang sepatu balet sebagai kado ulang tahun spesial dari ibunya, Aku bisa merasakan senyum riang nya saat goresan-goresan pinsil itu mulai bercengkrama di atas lembaran halaman tubuhku. Mungkin tiada cerita yang pernah ku lewati di setiap hari-harinya saat itu.

Bahkan bekas tetes airmata itu masih kusimpan pada sebuah halaman diantara kata-kata sendu yang pernah dia tulis. Ya, ketika itu dia sedang berselisih dengan kakaknya. Aku merasakan goresan kuat dari ujung pinsilnya yang tajam menuliskan kata-kata kebencian. Membuat lembaranku tersobek, mungkin karena dia ingin aku merasakan bagaimana keadaan hatinya saat itu -sobek. Aku merasa sedih, akan suasana hatinya, bukan karena bagian tubuhku tersobek. Tapi tak mengapa, malah justru merasa bahagia. Karena pada saat itu dia bersamaku seharian. Tanpa sepatahkata pun yang ia ucapkan. Pada siapapun, kecuali Aku --kata-kata yang dia tulis.

Oh ya, Aku juga masih menyimpan sebuah nama yang dulu dia tulis. Tak biasa, dia menulis dengan lembut, dengan indah seolah-olah pinsil yang di pegang tangannya menari-nari, diiringi senandung kasmaran. Dia menulis nama itu berulang-ulang sampai satu halaman penuh dalam tubuhku. Lalu dia menulis nama itu lagi dengan simbol-simbol hati yang mengelilinginya. kemudian mencoret-coret tubuhku dengan guratan yang tak Aku mengerti, tapi entah mengapa Aku merasakan hatinya sedang berbunga-bunga. Mulai saat itu, dia sering menulis, merangakai kata-kata anggun dan manis, yang sepertinya dialamatkan pada seseorang yang sangat dia kagumi. Entahlah, tapi aku merasa seperti di musim semi setiap dia melakukannya. Dan Aku sangat gembira, karena hanya Aku tempatnya berbagi saat itu.

Namun pada suatu ketika, dia mengambilku dengan lemas, membuka halaman yang penuh dengan nama itu, mengelus-ngelusnya dengan ujung jari-jarinya yang lembut. Aku merasakan getaran-getaran hatinya yang bercampur aduk. Marah, kesal dan kecewa. Dengan perasaan cinta dan rindu yang saling bersusulan. Tapi tiba-tiba aku merasakan kesedihan yang tak tertahan, marah yang merekah. Halaman tubuhku pun di coret-coret dengan gurat yang menyayat, ditusuk-tusuk dengan ujung pinsilnya yang tajam, tepat di atas halaman diamana nama itu bertumpuk. Kemurkaan itu berakhir dengan dilemparnya tubuhku ke tembok. Byarrr... tubuhku pun berhamburan, berserakan di lantai. Aku hanya bisa tersenyum haru. Karena pada saat seperti itu pun. Hanya Aku yang setia menemani dan mengerti pelik perasaannya.

Tapi semuanya telah berubah. Cerita terakhir adalah ketika dia mendapat kado ulangtahun ke tujuh belasnya. Dia mendapatkan sebuah handphone dari ayahnya. dia sempat bercerita tentang kebahagiaannya saat itu. Tapi ceritanya seperti menanam benih-benih kecemburuan untukku. Karena memang benar, itu adalah cerita terakhir yang dia tuturkan dalam halaman tubuhku. Sejak saat itu aku hanya disimpan di rak buku berhimpitan dengan buku-buku usang yang tak pernah dia baca.

***

Dia telah menjewantahkan kata-kata dari pusaran perasaannya di halaman-halaman tubuhku. Aku setia menyimpan kata-kata itu yang mungkin takkan dia ingat lagi. Hanya perasaan yang masih tersisa di hatinya, yang mungkin akan mengantarkannya lagi pada ragaku yang rapuh ini. Membuka, membelai, dan memeluk tubuhku yang telah menguning dan bau apek. Walau untuk hanya sekedar mengenang saat-saat indah mesra kita dengan cerita-cerita lucunya.

Di sini, di antara himpitan buku-buku usang dalam kardus bekas, di sebuah gudang gelap yang berdebu. Sebelum kutu dan rayap usia menggerogoti ragaku. Aku akan selalu berharap kerinduan kita segera menyatu.

Bandung, 27 Desember 2012

Cerita Pendek Semau-maunyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang