Reno, lelaki jangkung itu masih membiarkan pikirannya melayang pada sosok yang sempat dilihatnya. Seorang gadis dengan rambut kuncir kudanya yang bergerak bebas, mengikuti setiap gerakan si gadis, entah kenapa sangat menarik perhatiannya. Atau ... karena memang gadis itu menarik?
"Astaga, apa yang lo pikirin sih, Ren?" sanggah Reno saat menyadari pikirannya yang mulai melantur.
Kaki panjangnya perlahan turun dari ranjang, membawa ia ke sisi timur kamarnya, tepat ke jendela yang memperlihatkan halaman belakang dimana ada gundukan sampah di sana. Ya, orang-orang yang mengontrak di ruko keluarganya memang membuang sampah pada satu tempat, yaitu halaman belakang rumahnya. Agak sedikit terganggu sih, terlebih kamar Reno tepat menghadap halaman belakang.
Reno menghela napas. Tentu ia tak akan menatap ke luar jendelanya jika bukan tanpa sebab. Lagi pula, apa yang akan dipandanginya selain tumpukan sampah yang menggunung?
Jam tiga sore ketika jam waker Reno berbunyi. Seseorang yang sudah Reno tunggu mulai terasa hawa kedatangannya. Suara gesekan alas sepatu dengan tanah kering jelas terdengar di telinganya, cepat-cepat Reno membuka jendela. Ia tak menghiraukan bau tak sedap yang tiba-tiba menyambar hidungnya.
"Hai, Bos!" sapa Reno ketika melihat orang yang sedari tadi ditunggunya lewat di depan jendela. Tangannya sejenak terangkat, memberi isyarat sapa khas presiden pertama kita dulu. Ia lalu memangku dagu dengan tangannya di atas kusen jendela.
Ervan menoleh saat merasa ada seseorang yang memanggilnya. Tepat, sosok yang sempat beradu tatap dengannya saat ia kembali ke warung bakso setelah menitah Lia untuk pergi lebih dulu ke mobil, kini tengah tersenyum penuh arti padanya. "Halo, Ren," balas Ervan
Kembali, mereka bersitatap. Reno masih dengan senyumnya, Ervan dengan tatapan tajamnya.
"Lama gak kelihatan. Gimana skripsinya?" tanya Ervan akhirnya, mencoba memecah keheningan.
Reno menyeringai. "Topik yang bagus," ucapnya sambil mengubah posisi menjadi berdiri santai. Sebagian badannya dibiarkan menyandar pada kusen jendela. "Skripsi sudah di-acc, tinggal nunggu wisuda, akhir tahun ini," lanjut Reno. Matanya menerawang sebelum akhirnya menatap Ervan.
"Berita baik, Bang."
"Ya, dan lo ... gimana kabarnya? Perasaan jarang ke sini, juga tumben lo rajin buang sampah sendiri."
Ervan terdiam sejenak kemudian tersenyum kecil. "Mengenang masa lalu," balasnya.
"Hmm." Reno mendesis. "Sepertinya kurang sopan jika kita ngobrol seperti ini, hahaha. Wait, gue keluar dulu."
Ervan tersentak, ia kemudian menggerak-gerakan tangannya menyilang. "Gak usah. Gue juga mau pergi, masih ada urusan," cegah Ervan agar Reno tak perlu keluar untuk menghampirinya. Lagi pula, memangnya apa yang akan mereka obrolkan?
"Oh, ya? Urusan ... sama cewek lo?" terka Reno. Seringai jelas terlukis di bibir tebalnya.
Dahi Ervan mengernyit. "Cewek?"
"Itu, cewek pendek yang masuk ke mobil lo tadi siang," terang Reno masih dengan seringaiannya.
Mata Ervan membulat, ia merasakan panas menjalar ke wajahnya. Dengan cepat Ervan memalingkan wajah. "Oh, bukan. Dia temen gue," jawab Ervan. Susah payah menetralkan detak jantungnya.
"Oh, ya?" tanya Reno skeptis.
Ervan terdiam.
"Kalau gitu ... jaga dia baik-baik," lanjut Reno yang perlahan menjulurkan badannya untuk menggapai handle jendela.
Ervan menoleh, mendapati Reno dengan seringai khasnya yang perlahan menutup jendela bersama gordennya. Ia terpaku, kata-kata Reno membayanginya. Apa yang Reno rencanakan?
KAMU SEDANG MEMBACA
KOSTELIA
Teen FictionRafelia Ganesha Putri baru saja kena PHK yang membuatnya bertemu dengan teman sekaligus kecengannya dulu saat di sekolah, Ervan Pangalima. Ervan membantu Elia untuk mendapatkan kerja sekaligus mencarikannya kost untuk tinggal dekat dengan tempat ker...