Versi 1. Syal Jingga di Bulan Oktober

268 23 9
                                    

(Honda Satsuki's PoV)

"Satsuki~"

Aku mengangkat wajah dari benang-benang rajutan di tanganku ketika ibu memanggil. Segera kutinggalkan rajutan yang masih 40% dalam proses itu dan kuarahkan kakiku menuruni tangga, menuju tempat ibu berada. "Ya, Bu?" Kulihat ibu sedang mengangkat beberapa bungkus pakaian ke arahku.

"Tolong kirim ini, ya," ujarnya, menyerahkan tumpukan pakaian itu. Aku menerimanya dengan sigap. "Di situ sudah ada nama dan alamat pemiliknya. Tolong antarkan, ya." Aku menatap kosong pada tumpukan baju di pelukanku. Ibu yang sudah duduk kembali ke meja jahitnya, menoleh ketika menyadari kalau aku belum beranjak. "Hayo, hayo, ayo, cepat. Nanti ibu kasih uang jajan lebih."

Aku menghela napas. Bukan uang yang kuinginkan melainkan waktu luang. "Ibu, kenapa tidak meminta mereka mengambilnya ke sini saja? Aku kan bukan petugas pos," protesku, mencibir. Protes yang biasa dan berkali-kali kuutarakan.

Ibu berkacak pinggang. Meteran kain yang terkalung di lehernya bergoyang ketika beliau menggelengkan kepala. "Ini salah satu trik agar usaha ibu lancar, Satsuki. Lagipula, dengan kita mengantar pesanan mereka, pandangan pelanggan terhadap kita jadi naik, kan? Sudah, cepat kirim. Ibu mau menjahit pesanan yang lain." Ibu melambaikan telapaknya padaku seakan sedang mengusir seekor kucing yang mengeong.

"Kan bisa pakai pos," protesku lagi. Sepertinya kali ini keterlaluan karena ibu mengarahkan pandangan kesal padaku. Aku meminta maaf dan segera berbalik menuju tempat sepedaku terparkir, di samping rumah.

Namaku Honda Satsuki, kelas 2 SMA. Seperti yang kalian lihat, ibuku merupakan seorang penjahit. Ayahku seorang tukang bangunan. Adikku seorang anak kecil berusia 4 tahun yang sangat nakal. Tugasku selain bersekolah dan mengikuti kegiatan klub kesenian, adalah membantu mengurus rumah juga mengirimkan pesanan jahitan milik orang lain seperti ini. Dengan apa aku mengirim? Tentu saja dengan sepeda yang dikayuh dengan kaki – bukan mesin. Untung saja, pelanggan ibu bertempat tinggal tidak jauh dari rumah atau sekolahku. Sepertinya ibu kasihan padaku sehingga beliau hanya menerima pesanan dari orang yang berada di daerah ini saja.

Aku hendak mengirim pesanan terakhir yang bertempat di dekat sekolahku, SMA Karasuno ketika kulihat sosok yang tak asing sedang berjalan dari arah berlawanan. Dadaku berdesir tatkala aku menyerukan namanya, "Noyaaa~~"

Nishinoya Yuu, teman sekelasku sejak SMP, tersenyum dan melambaikan tangannya padaku. "Oh! Satsukii!!" serunya. Teman-teman satu klubnya, Tanaka dan Ennoshita tersenyum begitu aku menghentikan sepeda tepat di samping mereka.

"Baru pulang dari latihan?" tanyaku, menatap mereka bergantian dan terhenti pada wajah sumringah Noya. Hari sudah menggelap. Mereka berlatih dengan keras. Aku tahu itu.

Noya mengangguk. "Kau sendiri? Mengantar pesanan seperti biasa?" tanya Noya. Aku tersenyum dan mengangguk. Mereka pun pamit setelah berbincang sejenak denganku. Aku masih menatap punggung mereka – tepatnya punggung Noya – sebelum kukayuh pedal ke arah berlawanan. Pipiku menghangat di tengah suhu dingin bulan Oktober. Mungkin kepanasan karena mengayuh dalam jarak jauh – atau karena baru saja bertemu Noya. Jarang-jarang aku bertemu dengannya di luar sekolah secara kebetulan seperti malam ini.

Benar. Aku menyukai Nishinoya, sejak SMP. Dia berisik, terlalu jujur – hingga terkadang ucapannya menyakitkan – tapi memiliki hati yang baik. Noya juga seorang pemain voli yang hebat – baik di SMP hingga SMA sekarang ini. Sifatnya yang berisik seperti terbuang begitu saja tatkala ia berada di lapangan voli. Noya yang sedang bermain.. sangat tenang, fokus, serius dan keren – meski tingginya 4 cm lebih pendek dariku.

Selama berteman dengannya, aku sudah menerima banyak kebaikan darinya. Salah satunya adalah tetap bisa menjadi temannya meskipun sudah ditolak. Bukan, bukan aku yang menolak Noya. Justru aku yang ditolak olehnya. Aku menyatakan perasaanku saat kelulusan kelas 3 SMP di bawah pohon sakura di samping gedung sekolah. Ala-ala komik, memang, tapi sejak dulu aku memang menginginkan berada di bawah pohon tatkala menyatakan cinta. Saat itu, Noya menolakku dengan menangis. Aku tidak mengerti kenapa ia menangis, tapi aku sangat menghargai usahanya yang tidak ingin menyakitiku. Kupikir, setelah menolakku, dia akan menghindar, tapi ternyata tidak. Noya malah tetap menyapa dan mau berbicara denganku seperti biasanya. Teman-temanku bilang kalau hal itu sangat jahat, tapi bagiku itu adalah salah satu kebaikan Noya. 

Haikyuu Fanfiction: Nishinoya Yuu x OCTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang